
PRESIDEN Prancis Emmanuel Macron akan mendeklarasikan pengakuan keberadaan negara Palestina dalam sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang akan dimulai pada Selasa (9/8) mendatang.
Ini sebuah langkah yang segera memicu reaksi keras dari Israel dan sekutunya, Amerika Serikat (AS).
Keputusan ini juga mendorong sejumlah negara Barat lain mengambil sikap serupa, menjadikan solusi dua negara kembali sebagai inti diplomasi untuk mengakhiri perang di Gaza.
"Tekad kami untuk melihat rakyat Palestina memiliki negara mereka sendiri berakar pada keyakinan kami bahwa perdamaian abadi sangat penting bagi keamanan negara Israel," tulis Macron dalam surat yang dikirimkan pekan lalu kepada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Dia menambahkan, upaya diplomatik Prancis bermula dari kemarahan mereka atas bencana kemanusiaan yang mengerikan di Gaza, sehingga tindakan itu tidak dapat dibenarkan.
Sementara itu, Israel pada Jumat (26/8) mendeklarasikan kota terbesar di Gaza sebagai zona pertempuran. Data dari Kementerian Kesehatan Gaza mencatat korban jiwa telah melampaui 63 ribu orang sejak konflik dimulai pada 7 Oktober 2023.
Dukungan Negara Barat
Pengakuan negara Palestina akan diumumkan secara resmi oleh Prancis, Inggris, Kanada, Australia, dan Malta pada sidang tahunan Majelis Umum PBB. Sejumlah negara lain, termasuk Selandia Baru, Finlandia dan Portugal, juga tengah mempertimbangkan langkah serupa.
Namun Netanyahu menolak status Palestina sebagai negara dan bersiap memperluas operasi militer di Gaza. Israel dan AS berpendapat pengakuan semacam ini justru akan membuat kelompok militan semakin berani.
Netanyahu bahkan menuduh Macron memicu api antisemitisme dan menyebut seruannya sebagai sesuatu yang keji.
Nada serupa juga disampaikan Duta Besar AS untuk Prancis, Charles Kushner, yang menilai bahwa isyarat pengakuan negara Palestina justru membuat ekstremis semakin berani, memicu kekerasan dan membahayakan kehidupan Yahudi di Prancis.
Solusi Dua Negara Terancam
Direktur Institut Hubungan Internasional dan Strategis di Paris, Pascal Boniface, menilai situasi saat ini ibarat perlombaan antara diplomasi dan realitas di lapangan.
"Ada semacam perlombaan melawan waktu antara jalur diplomatik, dengan solusi dua negara kembali menjadi inti perdebatan dan situasi di lapangan (di Gaza), yang setiap hari membuat solusi dua negara ini sedikit lebih rumit atau bahkan mustahil," katanya.
Boniface juga menyoroti kekecewaan sebagian pihak yang menilai pengakuan Palestina oleh para pemimpin dunia seharusnya tidak menunggu hingga September, mengingat kondisi Gaza semakin parah.
Desakan Hentikan Ofensif
Macron bersama sejumlah pemimpin internasional terus mendesak Israel menghentikan serangan di Gaza. Saat ini, sebagian besar dari lebih dari 2 juta penduduk Gaza telah mengungsi, permukiman hancur dan krisis pangan meluas.
Dalam suratnya, Macron menegaskan, Pendudukan Gaza, pemindahan paksa warga Palestina, kelaparan yang mereka alami tidak akan pernah membawa kemenangan bagi Israel.
"Sebaliknya, mereka akan memperkuat isolasi negara Anda, menyulut mereka yang mencari dalih untuk antisemitisme, dan membahayakan komunitas Yahudi di seluruh dunia," tambahnya.
Hingga kini, lebih dari 140 negara di dunia telah mengakui Palestina, meski sebagian besar pengakuan itu masih bersifat simbolis. (CNN/I-3)