Bambu telah lama dikenal sebagai salah satu material berkelanjutan yang banyak dimanfaatkan dalam dunia arsitektur dan bangunan. Namun, merangkai bambu menjadi sebuah struktur bangunan bukanlah hal yang mudah. Apalagi jika struktur bambu itu bisa bergerak dan menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan sekitar. Hal ini yang jadi fokus pembelajaran para mahasiswa dari empat universitas di dua negara, dalam acara Bamboo Nation 2025: Kinetic Bamboo Structure 2.0.
Program internasional yang diselenggarakan oleh Petra Christian University (PCU) dan Universitas Ciputra, bekerja sama dengan Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) dan Xi'an Jiaotong-Liverpool University ini merupakan kegiatan tahunan yang diinisiasi oleh UNPAR sejak tahun 2014, serta telah dilakukan berbagai kampus di beberapa kota dan negara. Workshop tahun ini berlangsung hingga 10 Agustus 2025.
“Di program ini, para peserta akan fokus belajar pada praktik dan eksplorasi dalam mengintegrasikan prinsip-prinsip desain kinetik ke dalam konstruksi bambu,” urai Esti Asih Nurdiah, S.T., M.T., Ph.D., selaku PIC Acara, Kamis (7/8).
Setelah sukses dengan workshop terkait tema bambu kinetik pertamanya pada 2024 di Bali yang diselenggarakan oleh Universitas Katolik Parahyangan, tahun ini rangkaian acara selama enam hari diselenggarakan di Surabaya.
Esti, yang juga dosen Architecture PCU itu menyebut, tahun ini ada total 28 mahasiswa yang ikut berpartisipasi.
Salah satu kegiatan yang menarik perhatian adalah pada hari ini, Kamis (7/8). Berlangsung di Kampus PCU, puluhan mahasiswa tersebut membuat Struktur Bambu Kinetik.
“Desain bangunan yang dibuat itu bisa bergerak dengan menggunakan mekanisme SLE (Scissor-Like Element). Modelnya berbentuk cangkang silindrikal, yang memungkinkan untuk dapat dibuka dan ditutup,” terang Esti.
Dengan bentang sebesar 4.3 meter dan panjang maksimal 10 meter, para mahasiswa secara bersama-sama membangun struktur bambu tersebut mulai pukul 09.30 WIB.
Lebih lanjut, Esti, dosen yang memiliki fokus riset tentang penggunaan bambu sebagai material bangunan itu mengungkap bahwa workshop ini merupakan hasil riset kolaborasi dosen serta mahasiswa pada empat kampus penyelenggara dari sistem mekanika, desain komputasi, optimisasi, perancangan sambungan, dan penggunaan teknologi AR (Augmented Reality) dalam fabrikasi dan instalasi.
Ia menyebut, AR untuk konstruksi dapat menjadi cetakan atau guideline dalam mewujudkan geometri.
“Secara konvensional/manual kita membutuhkan cetakan untuk bentuk-bentuk yang sulit. Dengan AR, model digital dipakai sebagai cetakan untuk pembangunan. Jadi AR dipakai pada tahap fabrikasi, yaitu tahap marking and coding batang bambu sebelum dirakit ke struktur yang utuh,” rincinya.
Melalui proses belajar yang eksperimental dan kolaboratif ini, para peserta mendapat pengalaman secara langsung dalam merancang dan merakit struktur bambu yang adaptif. Unsur kinetis/gerakan yang ada dalam bambu tidak hanya dilihat sebagai sistem mekanik, melainkan sebagai ‘bahasa’ arsitektur yang menghasilkan bentuk estetis.
“Workshop ini memberi kesempatan bagi peserta untuk bereksperimen dengan penggunaan bambu sebagai material struktur. Mereka juga belajar tentang prinsip-prinsip kinetik di dunia arsitektur. Pekerjaan eksperimental dalam sambungan dan fabrikasi bambu ini menjadi jembatan antara kerajinan tangan tradisional dan inovasi, menggabungkan bambu yang bersumber secara lokal dengan pendekatan desain modern,” pungkas dosen yang meraih gelar Doktor dari University of Sheffield, Inggris, dengan tesis tentang pemanfaatan bambu untuk struktur cangkang grid (gridshell) itu.