Anak mengalami anemia (ilustrasi). Defisiensi zat besi dapat menurunkan Intelligence Quotient (IQ) dan menyebabkan gangguan tumbuh kembang pada anak secara permanen.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekurangan zat besi dapat berdampak serius terhadap tumbuh kembang anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menekankan defisiensi zat besi dapat menurunkan Intelligence Quotient (IQ) dan menyebabkan gangguan tumbuh kembang pada anak secara permanen.
"Ini sebetulnya suatu kondisi yang bisa dicegah. Namun apabila tidak tertangani, tidak ketahuan, tidak terdeteksi, atau terdeteksi tapi tidak diatasi dengan baik, dampaknya bisa sangat merugikan ke anak di masa depannya," kata Ketua Umum IDAI Piprim Basarah Yanuarso dalam diskusi secara daring di Jakarta, Selasa (2/9/2025).
Piprim mengatakan kondisi tersebut sangat bergantung pada kecukupan kadar zat besi pada anak. Salah satu cara agar dapat menghindari kondisi itu yakni dengan memberikan anak banyak asupan protein hewani.
Menurutnya, orang tua tidak perlu mencari bahan pangan yang mahal-mahal, tetapi dapat menggunakan bahan lokal seperti hati ayam yang sudah terbukti kaya mengandung zat besi. Jika sudah telanjur mengalami kekurangan zat besi, maka anak perlu mendapatkan asupan suplemen zat besi. Terapi yang dijalankan pun bisa memakan waktu dua sampai enam bulan lamanya. Sayangnya, orang tua sering kali merasa bosan untuk menuntaskan terapi.
Oleh karenanya, Piprim menekankan sangat penting bagi orang tua, dokter anak dan media untuk berkolaborasi agar anak terhindar dari kekurangan zat besi hingga anemia defisiensi besi (ADB). "Kejadian anemia defisiensi besi ini masih cukup sering pada anak-anak kita, masih cukup tinggi kejadiannya, dan ini tentu saja bisa menghambat tercapainya generasi emas ya di 2045," ujar Piprim.
Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Hematologi Onkologi IDAI Prof Dr dr Harapan Parlindungan Ringoringo mengatakan kekurangan zat besi berpotensi bisa mengenai anak sejak bayi, dengan usia 0-12 bulan menjadi waktu yang sangat krusial. Berdasarkan data yang ia miliki, prevalensi anemia pada anak usia 6 sampai 59 bulan secara global pada tahun 2019 sudah menyentuh angka 39,8 persen. Sedangkan di Indonesia mencapai 38,5 persen yang mayoritas disebabkan oleh ADB. Ia menjelaskan dampak yang akan dialami anak bila telanjur terkena ADB yakni mengalami gangguan perkembangan motorik, penurunan kemampuan kognitif, gangguan perilaku, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan hingga gangguan mielinisasi yang ireversibel.