Sebuah bendera Palestina dan bendera Indonesia berkibar di atas perahu motor di Ternate, Maluku Utara, Senin (27/11/2023). Sejumlah pemilik perahu motor antarpulau di daerah itu mengekspresikan solidaritas dan dukungannya terhadap rakyat Palestina dengan memasang bendera negara Palestina dan mendukung kemerdekaan mutlak bagi Palestina.
Oleh : DR Otong Sulaeman, Ketua/Rektor STAI Sadra periode 2024-2028.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-Bulan Agustus selalu penuh warna. Bendera merah putih berkibar di tiap jalan, lagu kebangsaan menggema, pidato kemerdekaan diucapkan dengan suara bergetar.
Kita merayakan bahwa Indonesia pernah bangkit dari belenggu penjajahan. Namun, di tengah gegap gempita itu, kita sering lupa satu hal: Pembukaan UUD 1945 tidak hanya mengafirmasi kemerdekaan kita, tetapi juga memuat perintah moral yang lebih besar.
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.”
Kalimat ini bukan hiasan retoris. Ia berdiri di atas dua pilar yang tak terpisahkan: afirmasi—pengakuan bahwa kemerdekaan adalah hak semua bangsa dan negasi—penolakan tegas terhadap penjajahan dalam bentuk apapun.
Dalam kerangka epistemologi Pancasila, kebenaran sejati tidak hanya “mengatakan yang benar”, tetapi juga “menolak yang salah”.
Pembukaan konstitusi ini lahir dari pengalaman historis bangsa Indonesia yang baru saja lepas dari belenggu kolonialisme, namun maknanya jauh melampaui konteks waktu dan tempat itu.
BACA JUGA: ‘Tuhan tidak Adil’, Benarkah Kalimat Ini dan Bolehkah Diucapkan Muslim?
Nilainya bersifat universal: ia tidak hanya mencerminkan fakta objektif yang kita alami di masa lalu, tetapi juga menjadi kompas moral bagi sikap kita terhadap semua bangsa di dunia.
Prinsip bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan penjajahan harus dihapuskan berlaku bagi siapapun yang tertindas—termasuk bangsa Palestina yang hingga kini masih hidup di bawah pendudukan.