
DOKTER Spesialis Kedokteran Jiwa lulusan Universitas Sebelas Maret Surakarta Jiemy Ardian menjelaskan bahwa aktivitas membaca merupakan salah satu bentuk terapi kejiwaan yang disebut biblioterapi.
Namun, Jiemy juga menekankan bahwa membaca buku memiliki perbedaan dengan aktivitas membaca di media sosial.
"Membaca buku, apalagi buku fisik, melatih otak untuk fokus dan berpikir secara mendalam, sementara di medsos memberikan stimulasi instan untuk segera menggulir (scrolling) yang justru membuat otak menjadi 'malas' dan mudah terdistraksi dalam bacaan," kata Jiemy, dikutip Selasa (2/9).
Menurut dia, fenomena itu bisa disebabkan oleh desain konten vertikal di media sosial yang sangat cepat dan adiktif.
Pengguna media sosial menjadi terbiasa dengan konten yang langsung to the point.
Kalau dalam dua detik tidak menarik, konten bisa langsung diganti. Artinya batas konsentrasi terhadap bacaan (attention span) semakin menipis karena pergeseran kebiasaan membaca.
Akibatnya orang menjadi lebih tidak sabar saat membaca karena otak telah dilatih untuk konsumsi konten bacaan yang instan.
Namun, membaca buku melatih imajinasi pembaca, sebuah aspek yang kurang terpenuhi dalam konsumsi konten visual yang sudah jadi dalam aktivitas scrolling media sosial.
Di tengah dominasi media sosial, meluangkan waktu untuk membaca buku bukan hanya sekadar hobi, melainkan investasi krusial untuk menjaga kesehatan mental dan kognitif.
Membaca buku dapat menjadi penyeimbang yang vital agar pembaca tidak menjadi individu yang reaktif, tidak sabar, dan kehilangan kemampuan untuk berpikir secara mendalam.
Dalam kesempatan itu Jiemy mengatakan bahan bacaan tidak harus selalu yang berat-berat.
"Saya percaya itu dan saya bicara pada konteks yang sangat luas, termasuk buku-buku yang ada di sebelah One Punch Man, One Piece saya baru tahu One Punch Man yang dia bersama Flashy Flash (nama karakter komik) ternyata ada dicetak ya, saya akan beli habis ini," pungkas Jiemy. (Ant/Z-1)