ICW menilai Pembebasan Bersyarat yang diterima oleh Setya Novanto merupakan bentuk kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi. Terpidana kasus e-KTP yang merugikan negara Rp 2,3 triliun itu bisa bebas lebih awal pada 16 Agustus 2025 berkat Pembebasan Bersyarat.
"ICW memandang pembebasan SN (Setya Novanto) pada kasus korupsi pengadaan e-KTP yang menimbulkan kerugian keuangan negara sekitar Rp 2,3 triliun merupakan bentuk dari kemunduran agenda pemberantasan korupsi," kata peneliti ICW Wana Alamsyah kepada wartawan, Senin (18/8).
"Terdapat 2 alasan mengapa penanganan perkara korupsi yang melibatkan mantan Ketua DPR SN (Setya Novanto) menjadi preseden buruk," imbuhnya.
Alasan pertama, ICW menyoroti soal penanganan perkara terkait Setnov yang ditangani aparat penegak hukum. Khususnya mengenai kasus pencucian uang. Menurut ICW, pengusutan kasus pencucian uang itu ditangani oleh Bareskrim Polri.
"Pertama, penegak hukum gagal dalam menerapkan pasal pencucian uang untuk menelusuri aliran uang hasil tindak pidana korupsi. Penanganan dugaan TPPU korupsi pengadaan e-KTP oleh Bareskrim Polri terhadap SN (Setya Novanto) disinyalir mangkrak," papar Wana.
ICW pun menilai KPK gagal menjalankan fungsi supervisi penanganan perkara terhadap penegak hukum lain untuk mengakselerasi kasus tersebut.
"Dampaknya, saat SN (Setya Novanto) menjadi terpidana patut diduga kabur dan plesiran ke Padalarang ketika melakukan pemeriksaan," ujar Wana.
"Hal ini akibat tidak selesainya upaya penegak hukum dalam merampas aset milik SN (Setya Novanto)," sambungnya.
Alasan kedua, ICW mengkritik soal Peninjauan Kembali Setnov yang dikabulkan Mahkamah Agung. Dengan dikabulkannya PK tersebut, hukuman Setnov dikurangi
Setnov sebelumnya dijatuhi vonis 15 tahun penjara dalam kasus korupsi e-KTP oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Dengan putusan PK ini, hukumannya dipotong menjadi 12,5 tahun penjara.
Hukuman pencabutan hak politik Setnov untuk menduduki jabatan publik pun dipotong oleh MA. Dari 5 tahun, menjadi 2 tahun 6 bulan.
"Akibat dari putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan PK SN (Setya Novanto) dengan mengorting pidana penjara dan pengurangan masa pencabutan hak politik, menunjukkan bahwa pemerintah tidak serius dalam memberikan efek jera bagi pelaku korupsi," kata Wana.
"Pemberian efek jera melalui pidana badan dan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik masih sangat diperlukan di saat RUU Perampasan Aset juga masih mangkrak oleh pemerintah dan DPR," pungkasnya.
Penasihat hukum Setnov, Maqdir Ismail, menyebut tak ada yang perlu dipersoalkan terkait pembebasan bersyarat kliennya tersebut.
Maqdir menyebut, kliennya sudah menjalani 2/3 dari masa hukuman yang dijatuhkan. Untuk itu, ia meminta semua pihak menghormati pembebasan bersyarat tersebut.