INFO NASIONAL - Perkawinan anak dan atau perkawinan di bawah umur 19 tahun, masih menjadi isu serius di Indonesia. Hal ini disadari karena perkawinan anak seperti rantai yang terhubung dan berdampak negatif dengan berbagai macam aspek lainnya.
Contohnya, dari aspek kesehatan: berisiko terhadap kematian ibu dan anak, risiko stunting; aspek ekonomi: kemiskinan; aspek pendidikan: putus sekolah; sulit mengakses layanan jaminan sosial; dan rentan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) serta perceraian.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Menyikapi fenomena tersebut, pemerintah Indonesia telah menjadikan program penguatan sistem perlindungan anak yang responsif terhadap keragaman dan karakteristik wilayah anak untuk memastikan anak mendapatkan hak-haknya. Perlindungan tersebut diberikan agar anak terhindar dari tindakan kekerasan, penelantaran, ekspoitasi dan perlakuan salah lainnya.
Praksisnya, Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta berbagai Kementerian/Lembaga (K/L) terkait telah membuat Strategi Nasional Pencegahan Perwakinan Anak (Stranas PPA) pada tahun 2020.
Melalui komitmen pemangku kebijakan yang kuat, strategi yang pas dan sinergisitas yang baik, upaya tersebut dapat dikatakan berhasil dengan ditandai penurunan angka baseline capaian dari 10,82 persen pada tahun 2019 turun menjadi 5,90 persen pada tahun 2024.
Meskipun demikian, tentu keberhasilan tersebut masih menyisakan “Pekerjaan Rumah” yang secara terus-menerus diupayakan diatasi secara konsisten agar tujuan sampai. Seperti bagaimana perkawinan yang tidak tercatat dalam administrasi kependudukan, perlindungan bagi korban yang nikah siri, perkawinan anak atau beberapa daerah yang angka perkawinan anak tinggi.
Tiga provinsi dengan angka perkawinan anak tertinggi secara nasional adalah Kepulauan Bangka Belitung, Sumatera Selatan dan Jambi.
Angka Perkawinan Anak Cukup Tinggi
Dari hasil kegiatan Pemantauan dan Evaluasi Terpadu Pencegahan Perkawinan Anak dan Perkawinan Usia di bawah 19 tahun di Provinsi Jambi, yang dilakukan penulis. Lokusnya adalah Kabupaten Merangin.
Melalui kegiatan ini dapat dipahami, bahwa meski pemerintah telah menetapkan berbagai regulasi untuk menekan praktik perkawinan anak, kenyataannya angka kejadian masih cukup tinggi di daerah. Faktor budaya, sosial, dan minimnya akses pendidikan menjadi penyebab utama terjadinya praktik perkawinan anak.
Berdasarkan baseline capaian Provinsi Jambi sebesar 14,78 persen pada tahun 2019 dan turun menjadi 14,03 persen pada tahun 2020. Konsistensi penurunan angka tersebut pada tahun 2024 justru mengalami kenaikan menjadi 7,80 persen yang sebelumnya 6,89 persen tahun 2023 (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, 2024).
Data senada tercatat juga di data Age Specific Fertility Rate (ASFR) usia 15-19 tahun sebesar 50,47 persen pada 2020, turun menjadi 24,57 persen tahun 2021, meningkat 26,70 persen tahun 2022 dan stag di 2023, dan naik tipis menjadi 26,80 persen pada 2024 (Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN, 2024).
Aspek Sosial Budaya Menjadi Faktor Utama
Masyarkat Indonesia yang majemuk tidak terlepas dari aspek sosial budaya dan nilai-nilai yang terinternalisasi secara turun-temurun atau ajaran agama/kepercayaan di dalamnya. Bagi penduduk lokal masyarakat Merangin, terdapat pandangan sosial bahwa anak perempuan yang tidak bersekolah atau bekerja, kemudian belum menikah, maka cenderung dianggap “tidak laku”.
Pandangan tersebut seringkali menimbulkan tekanan bagi keluarga, khususnya orang tua, untuk segera menikahkan anak perempuan mereka, terkhusus bagi anak yang tidak bersekolah/kuliah.
Jika anak tidak bersekolah, maka menikah dipandang sebagai pilihan terbaik untuk jalan hidup dan dianggap pantas untuk dilakukan. Dengan demikian, perkawinan anak bukan hanya persoalan pribadi, melainkan bagian dari kelaziman sosial yang mengakar.
Selain itu, terdapat pula kebanggaan tersendiri dari orang tua ketika anaknya cepat menikah. Hal ini terkait dengan perspektif bahwa mereka dapat segera memiliki cucu, sementara secara fisik orang tua masih dianggap cukup kuat untuk membantu pengasuhan.
Di samping itu, hal yang menjadi substansi adalah ajaran agama. Anak-anak segera dinikahkan agar tidak melakukan perilaku yang dapat menyebabkan dosa atau perilaku menyimpang. Kenyataanya, anak-anak saat sekarang ini tidak terlepas dari gawai yang memberikan peluang untuk mereka terpengaruh oleh pornografi.
Pendidikan Sebagai Faktor Penentu
Pendidikan merupakan faktor paling penting dalam upaya menekan angka perkawinan anak. Remaja yang menempuh pendidikan lebih tinggi cenderung memiliki pengetahuan, keterampilan, dan peluang yang lebih besar untuk menentukan pilihan hidup secara mandiri.
Sebaliknya, putus sekolah justru meningkatkan kerentanan anak, terutama perempuan, untuk segera dinikahkan. Sementara pendidikan akan membuka wawasan dan perencanaan kehidupan mereka untuk lebih matang dan baik.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang rendah berkorelasi dengan tingginya praktik perkawinan anak. Di Kabupaten Merangin, anak perempuan yang tidak melanjutkan sekolah setelah lulus SD atau SMP memiliki risiko lebih besar mengalami perkawinan dini dibanding mereka yang tetap melanjutkan pendidikan hingga SMA atau perguruan tinggi (BPS, 2022).
Perkawinan Tidak Tercatat (Nikah Siri)
Persoalan lain yang memperumit situasi adalah maraknya perkawinan yang tidak tercatat atau nikah siri dan perlindungan terhadap mereka (korban). Praktik ini dilakukan karena dianggap sah dan praktis, bahkan ”murah”, namun mengandung risiko besar.
Perempuan dan anak hasil perkawinan siri tidak memiliki perlindungan hukum yang memadai, terutama dalam hal warisan, perceraian, dan hak asuh anak. Kondisi ini menambah kerentanan sosial dan ekonomi, khususnya bagi perempuan.
Untuk menurunkan angka perkawinan anak di Kabupaten Merangin, berbagai upaya telah dilakukan. Dari sisi regulasi, Pemerintah Kabupaten Merangin telah mengeluarkan Peraturan Bupati Nomor 38 Tahun 2024 Tentang Pencegahan Perwakinan Anak.
Sementara Pemerintah Provinsi Jambi melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (P3AP2), telah menelurkan program Revitalisasi OSS&L dan Gerakan Keluarga Pembaharu dan Perempuan Akar Rumput yang Intergenerasional dan Inklusif.
GATI Motor Penurunan Perkawinan Anak
Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/BKKBN sebagai kementerian yang mengemban tugas mengelola program kependudukan dan pembangunan keluarga di Indonesia lebih dari satu dekade, juga memiliki peran dalam penurunan angka perkawinan anak.
Salah satu programnya adalah Generasi Berencana (GenRe) dengan basisnya berupa Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK-R), baik pada jalur sekolah maupun masyarakat dan kelompok kegiatan Bina Keluarga Remaja (BKR).
Baik dari sisi remaja maupun keluarga yang memiliki anak remaja, edukasi dan penguatan kesadaran yang diberikan tentang Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) serta mendorong akses pendidikan bagi anak perempuan, termasuk program beasiswa dan sekolah ramah anak.
Kemendukbangga/BKKBN tahun ini juga menelurkan beberapa quick wins. Satu di antaranya adalah Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI). Program ini telah dikenakan kepada masyarakat luas melalui gerakan edukasi publik, tokoh adat, dan tokoh agama.
Melalui gerakan ini diharapkan keberadaaan ayah bermakna dalam pengasuhan dan pendampingan anak remajanya. Ayah digerakkan untuk aktif memberikan teladan maupun dukungan positif untuk anak-anak mereka dalam perencanaan kehidupan berkeluarga.
Contohnya, mengarahkan anak remajanya untuk melakukan perkawinan pada usia ideal 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki. Dengan begitu, setiap remaja calon ayah dapat menuntaskan terlebih dahulu setiap fase kehidupan mereka dengan sempurna sebelum menikah.
Lima fase kehidupan remaja adalah penerapan pola hidup sehat, melanjutkan pendidikan, mencari pekerjaan, merencanakan kehidupan berkeluarga, dan menjadi anggota masyarakat yang baik.
Ayah, maupun komunitas GATI, juga diharapkan mengambil peran aktif dalam memberikan kesadaran pentingnya melakukan perkawinan tercatat guna menjamin perlindungan hukum.
Pendidikan Kunci Utama
Disadari bahwa dibalik praktik perkawinan anak banyak faktor penyebabnya. Tidak hanya persoalan individu, tetapi juga budaya, sosial, dan struktural yang membutuhkan solusi komprehensif.
Pendidikan menjadi kunci utama dalam menekan praktik ini. Dan pendekatan lokal menjadi strategi penting untuk diterapkan, disertai perubahan pandang masyarakat, serta penegakan aturan hukum.
Tanpa upaya serius dan berkelanjutan, generasi muda akan terus terjebak dalam lingkaran perkawinan anak. Pada akhirnya berdampak pada kualitas sumber daya manusia dan pembangunan Indonesia ke depan.
Oleh:
Dr. Lismomon Nata, S.Pd, M.Si
Ketua Pokja Pengembangan Program, Direktorat Bina Ketahanan Remaja, Kementerian Kependudukan dan Pembangnan Keluarga/BKKBN. (*)