Presiden Amerika Serikat Donald Trump memutuskan memperpanjang gencatan tarif terhadap barang-barang asal China selama 90 hari, hingga 10 November 2025. Langkah ini diambil untuk menstabilkan hubungan perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia yang selama ini terlibat perang dagang sengit.
Perpanjangan ini menunda kenaikan tarif tinggi yang seharusnya berlaku pada Selasa lalu. De-eskalasi pertama kali terjadi saat kedua negara sepakat mengurangi kenaikan tarif secara timbal balik dan melonggarkan pembatasan ekspor magnet tanah jarang serta teknologi tertentu. Meski demikian, Trump menegaskan tidak ada perubahan lain pada perjanjian tersebut.
China pun merespons dengan langkah serupa, memperpanjang penangguhan tarif mereka selama 90 hari. Kesepakatan ini tercapai setelah negosiasi di Swedia bulan lalu, yang sempat mengancam kenaikan tarif AS terhadap produk Tiongkok hingga 54 persen jika gencatan tidak diperpanjang.
Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi, menilai gencatan ini memberikan angin segar bagi rupiah. Meski efeknya kemungkinan tidak berlangsung lama.
“Ya seharusnya kalau ada ditunda 90 hari bagus dong untuk Rupiah,” ujarnya kepada kumparan, Rabu (13/8).
Namun, ia mengingatkan bahwa pasar keuangan global tengah dibayangi faktor geopolitik lain, termasuk pertemuan antara Trump, Presiden Rusia Vladimir Putin, dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky di Alaska. Ibrahim pesimistis perundingan damai Rusia–Ukraina akan berhasil, mengingat kedua pihak memiliki tuntutan yang sulit dipertemukan.
Menurutnya, kondisi ini dapat memicu ketegangan baru yang berpotensi menekan rupiah. Selain itu, data ekonomi AS yang akan dirilis dalam waktu dekat, terutama inflasi, diperkirakan naik dari 2,7 persen menjadi 2,8 persen.
"Kalau inflasi ini naik, spekulasi penurunan suku bunga kemungkinan terhenti. Nah kalau suku bunga terhenti ya harga atau uang rupiah kemungkinan akan kembali lagi mengalami pelemahan,” jelas Ibrahim.
Ia memproyeksikan rupiah hingga akhir tahun berada di kisaran Rp 16.700 per dolar AS. Sedikit lebih kuat dari perkiraan pemerintah yang mematok di Rp 16.900 dalam APBN.
Sinyal Positif untuk Perdagangan Global
Dari sisi ekonomi makro, Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai langkah AS dan China memperpanjang gencatan perang dagang membawa efek positif secara global.
"AS dan China mewakili sekitar 50 persen PDB dunia, secara PPP, gencatan perang dagang ini tentunya berdampak positif,” kata Wijayanto.
Ia juga menilai keputusan Trump ini memberi sinyal bahwa sang presiden masih punya rasa takut dan sedikit rasional. Sehingga ada peluang hasil akhir kesepakatan akan lebih lunak.
Dampak positifnya, menurut Wijayanto, akan terasa di perdagangan, investasi, hingga nilai tukar rupiah.
Meski memberi jeda dari ketegangan tarif, para analis sepakat bahwa 90 hari ke depan akan menjadi masa krusial. Hasil perundingan lanjutan dan perkembangan geopolitik global akan menentukan apakah rupiah bisa terus bertahan atau kembali tertekan.