
Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon mengungkapkan bahwa penulisan sejarah Indonesia yang sedang disusun oleh Kementerian Kebudayaan merupakan lanjutan dari literasi sejarah saat ini.
Ia mengatakan, penulisan sejarah tidak akan bisa memuat secara holistik. Namun, menurutnya, dengan adanya penulisan ulang ini bisa menjadi landasan untuk penulisan sejarah berikutnya.
“Kalau kita menulis sejarah Indonesia secara keseluruhan mungkin perlu 100 jilid ya. Mungkin gitu ya. Tetapi 10 jilid ini paling tidak menjadi sebuah kerangka besar untuk meluruskan penulisan-penulisan sejarah berikutnya,” ujar Fadli di acara diskusi dan uji publik draf penulisan buku sejarah Indonesia di Universitas Indonesia (UI), pada Jumat (25/7).
Fadli menilai perlunya pemutakhiran sejarah. Kata dia, literasi sejarah saat ini baru ditulis hingga pemerintahan era Presiden B. J. Habibie atau pada 1999.
“Tidak pernah ada suatu pembahasan tentang pemerintahan era, pemerintahan Abdurrahman Wahid, pemerintahan Megawati Soekarnoputri, pemerintahan SBY. Apalagi yang tentu yang terakhir pemerintahan Pak Jokowi,” ujar dia.
Kementerian Budaya Buka Peluang Tulis Sejarah Lainnya: Lebih Tematik
Fadli Zon juga mengungkapkan Kementerian Kebudayaan akan menulis sejarah lainnya lewat Direktorat Jenderal Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi. Kata dia, sejarah yang akan ditulis bakal lebih spesifik pada suatu peristiwa tertentu.

Tujuannya agar tak ada naskah sejarah yang menurutnya saat ini masih banyak tercecer dan belum pernah ditulis.
“Ini rencana ke depan. Kita perlu menulis sejarah tentang Majapahit, tapi yang juga lebih komprehensif. Sejarah tentang Pajajaran,” ungkapnya.
“Saya kira ini adalah satu hal yang sangat penting karena kalau kita kehilangan sejarah, kita bisa kehilangan identitas dan jati diri kita,” imbuhnya.
Penulisan Sejarah Tidak Terlalu Cepat, Justru Terlambat
Fadli juga menanggapi soal adanya anggapan penulisan sejarah Indonesia yang dinilai terburu-buru. Justru, ia menilai, penulisan sejarah Indonesia sudah sangat terlambat.
“Saya kira tentu ada yang mengatakan kok terlalu cepat. Saya mengatakan kok terlambat. 26 tahun kita tidak menulis. Ibaratnya itu 26 tahun tidak menulis (sejarah),” ucap Fadli.
“Jadi sebenarnya kalau kita terbitkan sekarang itu kita sudah sangat-sangat terlambat,” tambah dia.
Fadli juga mengatakan, dalam penulisan buku sejarah Indonesia, dilibatkan ahli maupun pakar di bidang sejarah untuk menulis dan mengkurasi buku yang ditulis dalam 10 jilid ini.

“Ini cukup banyak profesor di sini, guru besar. 112 penulis. Jadi kalau dibilang seperti terburu-buru, menurut saya tidak Karena memang sudah ahlinya masing-masing,” bebernya.
“Jadi bukan orang yang baru belajar menulis. Tapi memang sudah punya background latar belakang yang sangat dalam, sangat panjang. Bukan orang baru baca dari Google kemudian mau merespons, mau menulis,” lanjutnya.
Sejarah Ditulis oleh Pemenang
Fadli menggunakan istilah 'Sejarah Ditulis oleh Pemenang'. Dalam hal ini, pemenang menurut Fadli adalah Bangsa Indonesia itu sendiri.
Sebab sejarah kita saat ini masih mengacu pada era kolonial Belanda.
“Ya saya kira tentu saja sejarah ditulis oleh yang menang. Dalam hal ini, Indonesia adalah pemenangnya. Oleh karena itu sejarah harus ditulis oleh Indonesia,” kata Fadli.
Fadli menilai, penulisan sejarah yang sedang dikerjakan ini bisa meluruskan sejarah Indonesia saat era penjajahan.
“Kita memang perlu menulis sejarah itu dalam perspektif Indonesia, Indonesia sentris, artinya dari sisi dari kacamata kita bukan dari sisi kolonial dan kita berharap dengan penulisan buku sejarah ini sejarah menjadi lebih relevan,” pungkasnya.