
Mantan Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, Prasetyo Boeditjahjono, dituntut pidana 9 tahun penjara. Jaksa Penuntut Umum (JPU) meyakini Prasetyo bersalah melakukan korupsi dalam kasus dugaan korupsi pembangunan jalur KA Besitang-Langsa yang merugikan negara Rp 1,1 triliun.
"[Menuntut Majelis Hakim] menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Prasetyo Boeditjahjono oleh karena itu dengan pidana penjara selama 9 tahun," kata jaksa membacakan surat tuntutannya, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (30/6).
Selain pidana badan, jaksa juga menuntut Prasetyo pidana denda sebesar Rp 750 juta subsider pidana kurungan selama 6 bulan.
Tak hanya itu, Prasetyo juga dibebankan pembayaran uang pengganti sebesar Rp 2,6 miliar—senilai jumlah korupsi yang diperolehnya dalam kasus tersebut.
Jaksa menyebut, jika uang pengganti tersebut tidak dibayar paling lama dalam waktu satu bulan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi pembayaran uang pengganti tersebut.
"Apabila harta benda tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan," tutur jaksa.
Sebelum membacakan tuntutannya, jaksa terlebih dahulu menguraikan sejumlah pertimbangan memberatkan dan meringankan hukuman terhadap Prasetyo.
Hal yang memberatkan tuntutan yakni perbuatan Prasetyo tidak membantu program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme, ikut menikmati hasil tindak pidana, serta tidak mengakui perbuatannya.
Sementara itu, hal yang meringankan tuntutan yakni terdakwa belum pernah dihukum.
Akibat perbuatannya, jaksa meyakini bahwa Prasetyo melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Dakwaan Prasetyo Boeditjahjono
Prasetyo didakwa terlibat dalam kasus korupsi pembangunan jalur KA Besitang-Langsa yang merugikan negara Rp 1,1 triliun.
Jaksa memaparkan, Prasetyo selaku Dirjen Perkeretaapian memerintahkan Nur Setiawan Sidik selaku Kepala Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumatera Bagian Utara untuk mengusulkan proyek Pembangunan Jalur Kereta Api Besitang-Langsa.
Pembiayaan proyek tersebut rencananya akan melalui penerbitan SBSN-PBS TA 2017 ke Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Padahal masih terdapat persyaratan yang belum terpenuhi.
Menindaklanjuti permintaan Prasetyo, Nur Setiawan kemudian membagi proyek pembangunan itu menjadi 11 paket pengerjaan. Masing-masing paket pengerjaan nilai proyeknya di bawah Rp 100 miliar. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari ketentuan yang berlaku.
Nur Setiawan juga memerintahkan anak buahnya, Rieki Meidi Yuwana, untuk melakukan pelelangan menggunakan metode penilaian pasca-kualifikasi.
Singkat cerita, Nur Setiawan dkk mulai membuka tender pengadaan proyek tersebut. Padahal, masih ada sejumlah persyaratan yang belum terpenuhi. Di antaranya adalah belum adanya dokumen AMDAL hingga belum dilakukannya pembebasan lahan.
Prasetyo juga diduga melakukan pengaturan pemenang tender pengadaan proyek tersebut. Salah satu caranya dilakukan dengan menggelar pertemuan bersama para calon pemenang.
Isi pertemuan itu adalah menginformasikan terkait persyaratan yang dibutuhkan untuk memenangkan tender. Syarat tersebut hanya dapat dipenuhi oleh PT Mitra Kerja Prasarana yang dimiliki oleh Freddy Gondowardojo.
Nur Setiawan Sidik dkk juga mengatur pemenang tender pekerjaan supervisi pembangunan jalur KA Besitang-Langsa itu. Namun nyatanya, pemenang pekerjaan supervisi itu tidak melaksanakan tugasnya, bahkan ada praktik pinjam perusahaan yang mengeluarkan biaya.
Dalam pelaksanaan proyek itu, Prasetyo juga diduga telah menerima uang, barang, dan fasilitas, dari para pelaksana pekerjaan proyek itu sebagai bentuk komitmen fee atas pemenangan mereka.
"Telah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yaitu: Terdakwa Prasetyo Boeditjahjono sebesar Rp 2.600.000.000,00 [Rp 2,6 miliar] atau setidak-tidaknya sejumlah tersebut," kata jaksa dalam dakwaan.