Gema lagu-lagu populer di panggung hiburan Indonesia tengah dibayangi nada sumbang: gugatan royalti hak cipta lagu dan larangan menyanyikan lagu. Gugatan dan larangan itu datang dari sejumlah pencipta lagu untuk para penyanyi yang mempopulerkan karya mereka. Fenomena ini makin marak dan tak pelak meresahkan musisi Indonesia.
Plt. Ketua Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI) Cholil Mahmud menyatakan, jika fenomena tersebut dibiarkan bergulir tanpa desakan solusi cepat dan tepat, maka ekosistem musik Indonesia akan terganggu. Ia pun mendorong pemerintah untuk turun tangan mengingat polemik ini, menurutnya, bersumber dari salah tafsir terhadap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, persisnya Pasal 113 ayat 2 UU tersebut yang mengatur soal royalti.
Pasal 113 ayat 2 UU Hak Cipta berbunyi:
Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500 juta.

“Kan yang membuat ini jadi berpolemik karena interpretasi dari UU. Jadi UU-nya dari versi pemerintah waktu membuat, pemerintah kan memberikan kekuasaan kepada pencipta lagu untuk punya hak-hak yang tidak dimiliki oleh profesi lain, kalau dia menciptakan sesuatu diberikan kekuasaan,” kata Cholil saat ditemui kumparan.
Ketua Umum Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI), Satriyo Yudi Wahono atau yang dikenal sebagai Piyu, menegaskan persoalan royalti antara pencipta lagu dan penyanyi bukanlah isu baru. Dia berpandangan sejak UU Hak Cipta disahkan, masih banyak hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan atas karya cipta masih belum dijalankan secara semestinya.
“Polemiknya sudah lama. Sudah 10 tahun yang lalu,” kata Piyu.
Piyu melihat akar masalah terletak pada ketimpangan dalam pembagian hak dan manfaat ekonomi antara pencipta lagu dan penyanyi sebagai pengguna karya. Saat ini, Piyu melihat masih banyak pencipta lagu yang belum mendapatkan haknya secara optimal, bahkan jauh dari kata layak.
“Kita melihat ada kesenjangan atau gap atau perbedaan yang sangat jauh sekali antara para pengguna karya, kalau kita sebut para penyanyi atau artis yang menggunakan karya itu, dengan para pencipta lagunya,” ujar gitaris Padi Reborn itu.

Menurut Piyu, para penyanyi bisa meraup honor fantastis mulai dari puluhan hingga ratusan juta rupiah dari performa lagu yang mereka bawakan. Sedangkan penciptanya sering kali tak menerima imbalan setimpal bahkan tidak menerima keuntungan dari eksploitasi karya yang mereka ciptakan.
Piyu pernah memiliki pengalaman pada tahun 2024 hanya menerima royalti sekitar Rp 125.000 setelah dipotong pajak penghasilan (PPh). Sementara itu, pada tahun sebelumnya, yakni 2023, Piyu mengaku menerima Rp 349.283.
Nominal royalti itu ia terima melalui Lembaga Manajemen Kolektif Negara (LMKN) dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Dia pun mempertanyakan transparansi LMKN/LMK dalam pengelolaan royalti musik, khususnya dari pertunjukan musik atau performing rights (live event).
Cholil mengamini memang terjadi pembagian honor yang belum adil bagi para pencipta lagu. Sehingga, ia tak masalah jika pembagian honor yang tidak adil ini segera diselesaikan.
Namun demikian, ia mengkritisi pendekatan yang belakangan dipakai oleh pencipta lagu dengan skema direct licensing alias menagih kepada penyanyi secara langsung tanpa melalui LMK/LMKN. Menurutnya, direct licensing kurang pas diterapkan sebab nominal yang ditagih sangat besar dan tidak memiliki dasar jelas.
“Cara penyelesaian [direct licensing] yang seperti ini menurut saya itu terlalu berlebihan,” kata Cholil.

Sebaliknya, bagi Piyu model direct licensing dirasa tepat menciptakan keseimbangan antara royalti penyanyi dan pencipta lagu. Skema ini memungkinkan pencipta lagu menerima haknya secara langsung, tanpa perlu melalui pihak ketiga seperti LMK maupun LMKN.
“Jadi langsung diterima pencipta lagunya. Inilah yang ditentang banyak orang. Karena apa? Karena menghilangkan pihak ketiga,” kata Piyu.
Pandangan berbeda disampaikan Cholil yang menilai konflik terkait skema royalti justru bisa menjadi preseden buruk bagi industri musik. Apalagi, sejumlah penyanyi sudah mulai terlibat dalam sengketa hukum atas nama royalti.
“Karena ini akan menjadi bola salju yang akan jadi yurisprudensi, diikuti oleh kasus-kasus lain yang memang sudah menunggu banyak, ‘oh kalau bisa dapat uang sebesar itu, gue juga mau, gue punya kok lagu gue di sini’,” jelas Vokalis Band Efek Rumah Kaca itu.
Organisasi Vibrasi Suara Indonesia (VISI) sudah mengajukan uji materiil terhadap Undang-undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 ke Mahkamah Kontsitusi. Pengajuan uji materiil ini melibatkan 29 musisi sebagai pemohon di antaranya Armand Maulana, Bunga Citra Lestari, Judika, Fadly (Padi Reborn), Ariel NOAH, Raisa, Nadin Amizah, Bernadya, Afgan, Ruth Sahanaya, Rendy Pandugo, Tantri KOTAK, hingga David Bayu.

Sejumlah penyanyi papan atas Indonesia pernah menghadapi gugatan terkait royalti dan izin menyanyikan lagu dari para penciptanya. Ada yang sudah inkrah dan masih bergulir. Berikut daftar penyanyi yang terseret polemik royalti:
Agnez Mo
Kasus royalti lagu yang menjerat Agnez Mo dinilai FESMI menjadi momok baru bagi para penyanyi. Pasalnya, ini merupakan kasus pertama di mana gugatan pencipta lagu dikabulkan pengadilan dan dinyatakan bersalah. “Kita khawatir ini akan diikuti oleh kasus-kasus yang lain berturut-turut. Terbukti dari Agnez Mo ke Ari Bias ini diikuti lagi Vidi Aldiano,” ujar Cholil.
Kasus ini bermula dari laporan Ari Bias ke Bareskrim Polri pada 19 Juni 2024 atas dugaan pelanggaran hak cipta. Agnes Mo dinilai membawakan lagu berjudul Bilang Saja dalam tiga konser live di Jakarta, Bandung, dan Surabaya tanpa izin kegiatan komersial dari pencipta lagu maupun LMKN.
Adapun pertunjukan yang dipermasalahkan adalah konser Agnez Mo 3 hari berturut-turut yakni di HW Superclubs Surabaya pada 25 Mei 2023, H Club Jakarta pada 26 Mei 2023, dan HW Superclub Bandung pada 27 Mei 2023.
Ari Bias menciptakan setidaknya lima lagu untuk Agnez Mo di antaranya Bilang Saja, Bukan Milikmu Lagi, dan Ku Di Sini. Lagu Bilang Saja yang berujung polemik, diciptakan Ari Bias pada 2003 silam. Saat itu, Ari diminta Director Artist Aquarius Musikindo, mendiang Arie S. Widjaja alias Pak Iin untuk menciptakan lagu peralihan masa remaja Agnez Mo.

Masih menggunakan nama Agnes Monica, lagu Bilang Saja masuk dalam album remaja pertamanya berjudul "And The Story Goes..." bersama label Aquarius Musikindo pada Oktober 2003. Saat pertama kali dijual, CD album itu laku ratusan ribu hingga memenangkan AMI Awards 2004.
Meski sudah dibayar oleh label, yang digugat Ari Bias dalam gugatannya adalah royalti performing rights. Menurutnya, ada dua aturan royalti yaitu royalti mechanical dan royalti performing.
Ari merujuk pada aturan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik yang disahkan Presiden Jokowi pada 30 Maret 2021. "Royalti mechanical itu urusannya di label dan publisher. Royalti performi...