Merespons tuntutan tersebut, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sanny Iskandar menegaskan bahwa penyesuaian upah sudah memiliki mekanisme yang berlaku setiap tahun.
"Semuanya ada mekanisme, dan mekanisme itu kan diwujudkan dalam bentuk formula kan, yang memang nanti kan pasti (ada penyesuaian lagi), juga mungkin karena kemarin dengan apa keputusan daripada MK dan segala macam," ujar Sanny di Kantor Apindo, Jakarta, Kamis (28/8).
Menurutnya, pemerintah selalu menetapkan ketentuan dasar upah minimum (UM) menjelang akhir tahun. Tahun lalu, aturan tersebut dikeluarkan lewat Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) yang baru terbit pada Desember.
"Tapi harusnya sih dalam waktu yang nggak lama ya, itu harusnya ada ketentuan dasar untuk penetapannya (upah tahun berikutnya). Itu ya berdasarkan daripada formula yang nanti akan ditetapkan," jelasnya.
Soal berapa besar kenaikan upah yang ideal, Sanny mengaku tak bisa memastikan. Pasalnya, kondisi setiap sektor usaha berbeda-beda. Ada industri yang tengah sulit bertahan, seperti tekstil dan alas kaki, namun ada juga sektor yang justru tumbuh pesat seperti farmasi, makanan dan minuman, hingga digitalisasi.
"(Kemampuan menaikkan upah) tergantung. Makanya banyak wacana lah yang mengusulkan. Karena sektor kegiatan usaha itu kan berbeda-beda. Jadi memang nggak bisa disamaratakan. Kan ada sektor industri yang memang cukup berjalan baik, ada yang sudah survive aja sudah bagus," kata dia.
Sanny berharap keputusan pemerintah nantinya mempertimbangkan banyak aspek, mulai dari inflasi hingga pertumbuhan ekonomi, sehingga penetapan upah benar-benar sesuai mekanisme perhitungan yang tepat.
"Harapan kita nanti juga harus ada dasar mekanisme perhitungannya lah. Karena itu kan ada banyak unsur ya. Unsur inflasi, pertumbuhan ekonomi dan sebagainya gitu," kata dia.
Sebelumnya, Presiden Konfederasi serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyampaikan, dalam aksi buruh kali ini, para buruh utamanya menuntut pemberian upah yang mereka nilai masih terlalu murah serta juga menuntut sistem perjanjian kerja mekanisme outsourcing.
“Yang pertama kami beri nama gerakan Hostum, hapus outsourcing, tolak upah murah,” ujarnya.
Said menyebut, tuntutan kenaikan upah buruh tahun ini adalah 8,5 hingga 10 persen. Ia menyinggung soal tunjangan DPR yang justru kontradiktif dengan keadaan para buruh saat ini.
“Buruh sampai turun ke jalan hanya untuk kalau naik 8,5 persen rata-rata ya. Itu Rp 200.000. Dia (DPR) naikkan tunjangan perumahan aja Rp 50 juta kali 12 bulan, setahun Rp 600 juta,” kata dia.
Said menambahkan, kondisi tersebut belum lagi diperparah dengan adanya PHK dan pemberian uang pesangon yang tak sesuai kepada buruh.