
Bupati Karawang, Aep Syaepuloh, memberikan bantuan modal usaha untuk Iyah (40), ibu yang diduga memaksa 6 anaknya mengemis di jalanan.
Di hadapan Aep, Iyah berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya untuk mengeksploitasi anak-anaknya. Bila di kemudian hari terpergok kembali ke jalanan, dia siap dilaporkan ke polisi.
"Tadi malam, saya bersama istri tercinta menemui Ibu Iyah. Kami warning agar tidak turun ke jalan lagi. Kami berpesan pokoknya 'Awas jangan diulangi lagi," ucap Aep saat dihubungi kumparan, Sabtu (28/6).
"Kemudian demi memastikan beliau menepati janjinya, saya secara pribadi memberikan bantuan modal Rp 5 juta buat usaha berjualan warung kelontong sekaligus kita bangun sumur di rumahnya," tambah dia.
Aep mengaku amat menyesalkan tindakan eksploitasi anak tersebut, mengingat Pemkab Karawang terus berkomitmen menciptakan kota ramah layak anak.
Terlebih keluarga tersebut rupanya pernah menerima bantuan rumah layak huni (Rulahu) dari Pemkab Karawang dan penerima bantuan Program Keluarga Harapan (PKH).
"Saya juga berpesan kepada seluruh orang tua di mana pun berada, anak bukan investasi bagi orang tua. Tapi anak merupakan tanggung jawab yang harus kita pastikan seluruh haknya terpenuhi, merawatnya dengan penuh tanggung jawab, cinta dan kasih sayang," tandasnya.

Mengemis Sejak 2013
Ferdi (21), anak tertua dari pasutri bernama Dating dan Iyah, mengungkap alasan keluarganya belasan tahun berkeliaran mengemis di Karawang, Jawa Barat.
Seingat Ferdi, kebiasaan mengemis ini sudah dilakoni ibunya sejak tahun 2013 silam. Kebiasaan ini berangkat dari keterbatasan ekonomi keluarga.
"Dari 2013 udah pernah kalau enggak salah, dulu sempet dibawa ke Cibitung (Bekasi). Iya sama emak aja, bapak mah enggak," katanya ditemui kumparan di rumahnya, Jumat (27/6).
Menurutnya, dulu pilihan itu diambil ibunya lantaran ekonomi keluarga pas-pasan. Ayahnya yang cuma buruh tani penghasilannya tak menentu.
Parahnya lagi, lanjut dia, ayahnya kerap abai terhadap kondisi keluarga. Uang dari hasil bekerja hanya sebagian kecil diberikan kepada ibunya untuk makan ia dan adik-adiknya.
"Semisal dari tandur atau nguli dapet Rp 200 ribu, dikasih ke emak Rp 50 ribu. Terus kalau beli makan kadang cuma dua bungkus, buat bapak sebungkus sisanya buat emak sama adik. Saya mah gak pernah ikut makan," ulasnya.
Dari kebiasaan itu kedua orang tuanya kerap cekcok soal finansial hingga akhirnya mendorong ibunya berinisiatif mencari penghasilan sendiri. Meskipun ia akui jalannya memang salah.
"Sering ngasih tahu ke emak, tapi kadang juga galakan emak, bapak juga sebetulnya minta gak usah keluar-keluar, tapi ya gimana emak suka stres kalau anak-anak minta makan uang gak ada," kata dia.