
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memberi peringatan terhadap para pelaku transportasi terkait masih dinamisnya cuaca di Indonesia pada beberapa bulan mendatang.
Peringatan ini dirilis BMKG yang mencatat ada sejumlah peristiwa bencana di Indonesia, yang dipengaruhi oleh cuaca yang dinamis dan ekstrem.
Seperti banjir, tanah longsor, gangguan penerbangan hingga insiden tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali akibat cuaca buruk.
“Kondisi ini nampaknya sesuai dengan peringatan dini yang sudah kami keluarkan sejak H-1 bahkan hingga sepekan sebelumnya, baik untuk sektor publik, pelayaran, maupun penerbangan. BMKG secara rutin memperbarui prakiraan cuaca dan potensi gangguan cuaca ekstrem melalui berbagai kanal komunikasi,” ujar Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, lewat keterangan tertulisnya, Jumat (4/7).
Dengan demikian, Dwikorita meminta agar semua pelaku perjalanan mematuhi peringatan cuaca terkini. Sebab, keselamatan adalah prioritas utama.
"Keselamatan harus menjadi prioritas. Pengambilan keputusan dalam operasional transportasi harus mengacu pada data meteorologi yang kami sampaikan secara resmi dan berkala,” tegas Dwikorita.
Ia juga minta agar tak memperkirakan cuaca berdasar intuisi. Semua harus berdasar data.
"Cuaca saat ini tidak bisa diprediksi hanya dengan kebiasaan atau intuisi. Kita semua perlu berbasis data dan bersiap menghadapi dinamika iklim yang terus berubah. Informasi cuaca lengkap dapat diakses melalui berbagai kanal komunikasi resmi BMKG, seperti aplikasi infoBMKG, situs www.bmkg.go.id, serta media sosial resmi @infoBMKG," katanya.
Selain itu, BMKG juga memaparkan data bahwa masih ada hujan di atas normal di 53 persen wilayah Indonesia terutama di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, sebagian Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.

"Cuaca ekstrem juga masih berlangsung hingga awal Juli, seperti yang tercatat pada 2 Juli 2025, ketika Stasiun Geofisika Deli Serdang mencatat curah hujan ekstrem sebesar 142 mm, dan Stasiun Meteorologi Rendani Papua Barat sebesar 103 mm," papar Dwikorita.
Ekstremnya cuaca ini juga dipicu dengan sejumlah fenomena, seperti lemahnya Monsun Australia dan aktifnya gelombang ekuator seperti Rossby dan Kelvin.
Sehingga, udara di selatan Indonesia jadi lebih lembap dan mempertinggi potensi hujan di kawasan tersebut.
“Hal ini menyebabkan udara di wilayah selatan Indonesia tetap lembap dan mendukung pembentukan awan hujan, bahkan di wilayah-wilayah yang secara klimatologis seharusnya sudah memasuki musim kemarau,” kata Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto.
Fenomena Gelombang Tinggi di Laut Jawa, Flores, dan Maluku Utara
Tak hanya fenomena cuaca, tapi kondisi laut juga memperparah potensi cuaca ekstrem. Sebab, ada peningkatan kecepatan angin di Laut Cina Selatan, imbas dari bibit siklon tropis 98 W, yang terbentuk di sekitar Luzon.
Sementara itu, ada sirkulasi siklonik di lautan di barat Sumatera dan utara Papua Nugini yang mengakibatkan konvergensi dan konfluensi di perairan Indonesia seperti Laut Jawa, Laut Flores, dan Maluku Bagian Utara.

“Fenomena ini meningkatkan risiko gelombang tinggi dan hujan lebat di perairan terbuka. Kondisi ini perlu menjadi perhatian serius bagi sektor pelayaran dan nelayan,” kata Guswanto.
Selain itu, prakiraan cuaca BMKG pada 4-10 Juli menunjukkan potensi hujan lebat yang tinggi di beberapa daerah, seperti di Sulawesi Barat, Maluku, dan Papua Selatan untuk kategori siaga hujan lebat. Sementara angin kencang berpotensi terjadi di Kepulauan Riau, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, dan beberapa wilayah di Sulawesi dan Papua.