Rasa cemas menyelimuti musisi Nazril Irham (Ariel) dan Tubagus Armand Maulana usai Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menghukum rekan seprofesi mereka, Agnes Monica, karena melanggar hak cipta.
Agnes, penyanyi yang merintis karier sejak 33 tahun lalu, divonis terbukti menyanyikan lagu “Bilang Saja” tanpa seizin penciptanya, Arie Sapta Hernawan, pada tiga konser di Surabaya, Bandung, dan Jakarta—seluruhnya pada akhir Mei 2023. Putusan itu dibacakan majelis hakim yang dipimpin Marper Pandiangan pada 30 Januari.
Arie sebelumnya telah menerapkan sistem direct licence (lisensi langsung) terhadap karya-karyanya. Sistem lisensi itu mengharuskan penyanyi meminta izin langsung ke pencipta lagu untuk membawakan karyanya. Pembayaran royalti performing rights (pertunjukan) juga dilakukan langsung dari penyanyi ke pencipta, tanpa melalui perantara.
Atas pelanggaran tersebut, Agnes diputus harus membayar denda Rp 1,5 miliar ke Arie Sapta. Tak terima, Agnes mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung pada 10 Februari.
“Concern kita (VISI) berawal dari [kasus] Agnes. Apa yang terjadi sama Agnes bisa menjadi patokan… dari pihak pencipta bisa jadi ada oknum-oknum [lain yang menggugat]. Sementara dari pihak penyanyi bisa jadi ada Agnes-Agnes berikutnya,” kata Nazril atau yang biasa dikenal sebagai Ariel NOAH kepada kumparan, beberapa waktu lalu.

Tak lama usai Agnes diputus bersalah, para penyanyi membentuk Vibrasi Suara Indonesia (VISI) pada pertengahan Februari, dengan Armand sebagai ketua dan Ariel sebagai wakil ketua.
Kegundahan Ariel jadi kenyataan. Beberapa bulan setelah putusan Agnes, penyanyi dangdut Lesti Kejora dilaporkan ke polisi pada 18 Mei oleh komposer Yoni Dores atas tuduhan pelanggaran hak cipta beberapa lagu sejak 2018.
Kemudian pada 21 Mei, giliran Vidi Aldiano digugat oleh pencipta lagu ‘Nuansa Bening’, Keenan Nasution, ke Pengadilan Niaga Jakpus. Vidi dituntut membayar ganti rugi Rp 24,5 miliar karena dituding menyanyikan lagu ‘Nuansa Bening’ tanpa izin sejak 2009 dalam 31 kali pertunjukan.
Ketua Umum VISI Armand Maulana menilai dampak hukum yang kini dirasakan penyanyi disebabkan UU Nomor 28/2014 tentang Hak Cipta yang multitafsir.
Menurut Armand, pemahaman para penyanyi terhadap sistem lisensi dan pembayaran royalti sebuah pertunjukan di UU Hak Cipta bersifat blanket license atau kolektif melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), bukan direct license. Sehingga ia menilai para penyanyi telah mengikuti aturan yang berlaku sesuai Pasal 23 ayat (5) yang berbunyi:
Setiap Orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial Ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan membayar imbalan kepada Pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif.
“Kita melakukan yang legal. Legal karena hukum [UU Hak Cipta] yang berlaku dari tahun 2014 seperti itu,” ucap Armand pada kumparan akhir Mei.

Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Johnny Maukar, mengamini pasal tersebut memberi perlindungan bagi para penyanyi jika ingin membawa sebuah lagu tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada penciptanya, asal membayar royalti. Frasa ‘setiap orang’ sebagai pihak yang bertanggung jawab membayar royalti di pasal itu pun ialah penyelenggara atau promotor, bukan penyanyi. Sebab hitungan royalti merujuk pada hasil kotor penjualan tiket dikali 2%.
“Yang tahu tiket terjual siapa? kan promotor bukan penyanyi. Sehingga Pasal 23 ini harus diartikan untuk pembayaran imbalan itu harus promotor,” ucap Johnny.
Adapun Armand berpendapat, apabila sistem direct license ingin diterapkan oleh para pencipta lagu, aturannya harus terlebih dahulu diubah dan disahkan pemerintah, serta tidak berlaku surut. “Jangan [konser] yang lalu-lalu dijadikan sebuah track record yang harus ada hitungan [royalti] dan sebagainya,” ujar Armand.
Penafsiran beberapa pasal di UU Hak Cipta yang berbeda hingga menimbulkan dampak hukum bagi para penyanyi menjadi dasar VISI mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi pada awal Maret. Dalam permohonan nomor 28/PUU-XXIII/2025 itu, VISI mempersoalkan 5 pasal di UU Hak Cipta yakni Pasal 9 ayat (3), Pasal 23 ayat (5), Pasal 81, Pasal 87 ayat (1), dan Pasal 113 ayat (2) huruf f.
VISI ingin mendapat kepastian apakah dalam performing rights penyanyi harus mendapat izin pencipta lagu; apakah seseorang atau badan hukum bisa menentukan sendiri tarif performing rights di luar mekanisme dan tarif LMKN; siapa yang dimaksud pengguna yang wajib membayar royalti performing rights; hingga apakah wanprestasi royalti performing rights masuk kategori pidana atau perdata.

“Apa yang kita perjuangkan di MK, apa pun keputusannya, katakanlah [tafsir] keputusannya ternyata benar setiap nyanyi mesti izin dulu. Tapi kita pengennya fair. Kalau misalnya memang begitu, kita mulai di tahun 2025 ke depan, 2025 ke belakang jangan. Karena kalau 2025 ke belakang itu bahaya, bisa banyak yang dipermasalahkan nanti,” jelas Ariel.
Sementara Plt Ketum Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI) Cholil Mahmud berpandangan, maraknya gugatan pencipta lagu ke penyanyi tidak sehat bagi iklim musik Indonesia. UU Hak Cipta, kata Cholil, seharusnya membuat proses penciptaan karya lebih baik dan meriah, sehingga berdampak terhadap pendapatan royalti. Namun kini UU Hak Cipta justru menimbulkan ketakutan. Efeknya, bisa membuat generasi muda enggan jadi musisi.
“Orang-orang yang sekarang nuntut, dulu waktu kecil kalau dia ada dalam iklim yang represif, nggak boleh orang belajar lagu nanti ada ketakutan, bisa jadi dia nggak jadi pencipta lagu yang baik. Mereka bisa jadi pencipta lagu yang baik karena tumbuh di lingkungan yang boleh contoh lagu ini, lagu ini. Tapi ketika sudah bisa bikin lagu, mereka pengen punya regulasi yang menguntungkan buat diri mereka sendiri,” ucap Cholil pada kumparan, Rabu (4/6).
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) Satriyo Yudi Wahono alias Piyu berpandangan, gugatan para pencipta lagu terhadap penyanyi belakangan ini merupakan hak mereka.
“Itu hak dari setiap warga negara untuk mengajukan gugatan,” kata Piyu pada kumparan, Kamis (5/6)

Direct vs Blanket License
Kisruh performing rights bermula dari keresahan para pencipta lagu bahwa perlindungan atas karya belum dilaksanakan secara optimal. Mereka merasa ada kesenjangan ekonomi yang sangat jauh antara penyanyi sebagai pengguna karya dan penciptanya.
“Para penyanyi sudah mendapatkan manfaat ekonomi yang luar biasa. Mereka bisa menetapkan rate dalam menyanyikan lagu atau performa mereka bukan hanya puluhan juta saja, [bahkan] sampai ratusan juta, sampai nilainya kadang sangat fantastis. Tapi sebaliknya, para pencipta lagu banyak yang tidak mendapatkan haknya dari eksploitasi atas karya itu,” ujar Piyu.
Piyu menyatakan para komposer tak puas dengan sistem blanket license melalui LMK/LMKN. Mereka merasa nominal yang diterima dari LMKN sangat kecil. Padahal UU Hak Cipta telah memberi mandat kepada LMKN untuk menarik hingga mendistribusikan royalti sejak 2014. Namun hingga kini hasil yang didapat jauh dari harapan. Ia mencontohkan hanya mendapat royalti performing rights Rp 125 ribu hingga Rp 300 ribu per tahun dari LMKN.
“Saya yang masih aktif seperti sekarang ini saja royaltinya segitu. Kalau hanya Rp 125.000, Rp 300.000. Gimana caranya saya bisa hidup? Makanya sekarang saya sudah malas bikin karya lagu untuk orang lain karena masih belum ada perlindungan dan tata kelola royalti yang benar di Indonesia,” kata Piyu.
