Amerika Serikat (AS) mulai menolak dan mencabut visa anggota Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Otoritas Palestina (PA) jelang Sidang Umum PBB yang akan berlangsung bulan ini.
Dikutip dari The Guardian, Senin (1/9), Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas juga termasuk dalam pembatasan itu. Abbas berencana terbang ke New York untuk menyampaikan pidato di hadapan Sidang Umum PBB.
Pihak Abbas mengatakan terkejut dengan keputusan tersebut dan menyebut tindakan itu melanggar perjanjian markas besar PBB.
Berdasarkan perjanjian sebagai tuan rumah PBB di New York, AS tidak boleh menolak visa pejabat yang akan berpergian untuk menghadiri Sidang Umum PBB. Namun, Kementerian Luar Negeri AS mengatakan pihaknya telah mematuhi perjanjian dengan memperbolehkan misi Palestina untuk menghadiri Sidang Umum PBB.
"Pemerintahan Donald Trump telah menegaskan: demi kepentingan keamanan nasional kami, kami harus meminta pertanggungjawaban PLO dan PA atas ketidakpatuhan mereka terhadap komitmen mereka, dan atas upaya mereka merusak prospek perdamaian," kata Kemlu AS dalam pernyataannya.
Tindakan ini semakin menyeleraskan pemerintahan Donald Trump dengan pemerintahan sayap kanan Israel yang dengan tegas menolak negara Palestina. Pejabat Israel telah berulang kali menyamakan PA dengan rivalnya, Hamas.
Kemlu AS juga menuduh Palestina melakukan perang hukum dengan mengajukan keluhan terhadap Israel di Mahkamah Pidana Internasional dan Mahkamah Keadilan Internasional. Mereka meminta PA untuk menghentikan upaya untuk mengamankan pengakuan sepihak atas negara Palestina yang masih berupa dugaan.
"Terima kasih atas langkah tegas ini dan karena kembali mendukung Israel," kata Menlu Israel, Gideon Saar, dalam pernyataannya di X.
Sementara juru bicara PBB, Stephane Dujarric, menyatakan penting bagi semua negara dan observer termasuk Palestina untuk diwakili dalam Sidang Umum PBB.
"Kami tentu berharap masalah ini dapat segera diselesaikan," katanya.
Tak hanya anggota PLO dan PA yang visanya ditolak oleh AS. AS juga menangguhkan persetujuan visa bagi hampir semua orang yang memegang paspor Palestina. New York Times dalam laporannya mengungkapkan, kebijakan ini mencegah warga Palestina berpergian ke AS untuk perawatan medis, kuliah, dan perjalanan bisnis.
PLO didirikan pada 1964 sebagai organisasi payung bagi faksi-faksi Palestina dan diakui satu dekade kemudian sebagai satu-satunya perwakilan politik warga Palestina. Sementara PA dibentuk hampir 20 tahun kemudian sebagai badan sementara yang akan menyediakan kerangka kelembagaan bagi negara Palestina.
Keduanya kemungkinan akan menjadi bagian integral dari negara Palestina di masa depan. Kekuatan negara-negara Arab, Inggris, Eropa, dan yang lainnya ingin agar PA mengambil peran sentral dalam pemerintahan Gaza jika konflik dapat diakhiri. Meski, mereka juga sepakat PA memerlukan reformasi.
Australia, Kanada, Inggris, dan Prancis akan mengakui negara Palestina dalam Sidang Umum PBB jika sejumlah persyaratan terpenuhi. Langkah negara-negara tersebut membuat Israel geram.