
Bagi konsumen Muslim, kehalalan makanan menjadi aspek penting dalam memilih tempat makan. Di tengah banyaknya pilihan restoran, label halal kerap dijadikan acuan. Namun, tidak semua restoran yang mengeklaim halal memiliki sertifikat resmi dari lembaga berwenang.
Beberapa tempat menggunakan istilah seperti no pork no lard, no alcohol, atau muslim friendly meskipun belum tersertifikasi halal. Berdasarkan ketentuan yang berlaku di Indonesia, klaim sepihak seperti ini belum cukup untuk menjamin kehalalan suatu produk makanan. Sertifikasi resmi dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menjadi bukti sah yang diakui secara hukum.

Hal ini juga ditekankan oleh Kepala BPJPH Ahmad Haikal Hassan. Ia menegaskan bahwa frasa seperti no pork no lard bukanlah jaminan halal. “Di Indonesia enggak berlaku kata-kata atau kalimat seperti itu. Cuma satu, yaitu logo halal, sertifikat halal yang dikeluarkan badan halal. Tidak ada lagi logo-logo lain,” tegasnya kepada kumparanFOOD, saat acara Media Briefing IIHF 2025, Rabu (19/6).
Oleh karena itu, konsumen perlu memahami bahwa satu-satunya bukti kehalalan yang sah di Indonesia adalah sertifikat dan label halal yang diterbitkan oleh BPJPH. Hal ini penting diperhatikan agar makanan yang dikonsumsi benar-benar sesuai dengan syariat Islam.

Direktur Utama LPPOM Muti Arintawati juga menyampaikan bahwa klaim halal dari pihak penjual tidak cukup. Menurutnya, proses penjaminan halal mencakup banyak aspek, mulai dari pemilihan bahan, distribusi, pengolahan, hingga penyajian di outlet.
“Kehalalan suatu makanan tidak hanya bergantung pada ketiadaan daging babi atau turunannya, tetapi juga pada keseluruhan proses produksinya, mencakup pemilihan bahan, distribusi bahan (dari supplier ke gudang dan dari gudang ke outlet) atau menu (dari dapur pusat ke outlet), pengolahan (baik di dapur pusat maupun outlet), hingga penyajian atau penjualan,” jelas Muti, dikutip dari laman resmi LPPOM.
Menurut Muti, sertifikasi halal penting sebagai bukti bahwa semua aspek, dari bahan hingga fasilitas produksi, telah diperiksa dan sesuai standar. “Produk halal hanya dihasilkan dari bahan-bahan yang tidak diragukan kehalalannya, dan diproses pada fasilitas yang bebas dari kontaminasi bahan haram dan najis,” tambahnya.
Sementara itu, klaim halal sepihak belum tentu bisa dipertanggungjawabkan. Misalnya, daging sapi yang diklaim halal harus ditelusuri proses penyembelihannya. Jika tidak sesuai dengan syariat, maka status halal produknya bisa gugur.

Kontaminasi silang juga menjadi perhatian penting. Peralatan masak yang digunakan untuk makanan non-halal, tapi tidak dipisahkan bisa memengaruhi kehalalan makanan lain yang disajikan.
Jika sebuah restoran memang menjual produk non-halal, maka informasi tersebut harus disampaikan secara terbuka kepada konsumen. “Adanya klaim non-halal pada sebuah produk justru jauh lebih baik daripada produk yang sebenarnya haram tetapi tidak memberikan informasi apa pun, sehingga dapat menyesatkan konsumen Muslim,” ungkap Muti.
Sejak 18 Oktober 2024, pemerintah telah memberlakukan kewajiban sertifikasi halal bagi produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia. Ketentuan ini diatur dalam UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).
Produk yang termasuk dalam aturan ini mencakup makanan, minuman, jasa penyembelihan, serta hasil penyembelihan itu sendiri. Pemerintah memberikan tenggat waktu hingga 17 Oktober 2026 untuk para pelaku usaha memenuhi kewajiban tersebut.
Reporter Salsha Okta Fairuz