
Pernah mendengar istilah rojali dan rohana berseliweran di media sosial? Buat yang masih bertanya-tanya apa itu rohana dan rojali, dua istilah ini mulai sering dipakai buat menyebut tipe-tipe pengunjung mal yang punya pola tertentu.
Terdengar lucu, tapi sebenarnya cukup menggambarkan kebiasaan banyak orang saat ini. Istilah ini pelan-pelan jadi semacam cermin kecil dari kebiasaan belanja masyarakat.
Apa Itu Rohana dan Rojali yang Viral di Media Sosial? Ini Penjelasannya

Istilah rojali dan rohana belakangan sering terdengar di media sosial dan obrolan santai. Namun, sebenarnya apa itu rohana dan rojali?
Rojali, atau rombongan jarang beli, merujuk pada sekelompok orang yang datang ke pusat perbelanjaan dalam jumlah besar, tapi nyaris tak ada transaksi yang dilakukan. Mereka datang bukan untuk belanja, tapi untuk sekadar jalan-jalan, lihat-lihat, duduk santai, atau foto-foto.
Aktivitas seperti ini memang sah-sah saja. Namun, dari kacamata pelaku usaha, kehadiran rombongan ini tidak serta-merta menguntungkan.
Biasanya, pengunjung yang masuk kategori rojali punya ciri-ciri khas. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
Datang ramai-ramai, entah itu bersama teman sekolah, keluarga besar, atau komunitas.
Tujuan utamanya bukan belanja, tapi menghabiskan waktu bersama.
Mereka bisa berlama-lama di food court tanpa membeli makanan, duduk di spot yang sejuk hanya untuk mengobrol atau bermain ponsel, bahkan menggunakan Wi-Fi gratis selama berjam-jam.
Ada juga yang sibuk mencoba tester produk, tapi tak pernah benar-benar membeli. Beberapa fokus membuat konten untuk media sosial, rekam video, ambil foto, lalu pulang tanpa belanja.
Fenomena ini jelas memengaruhi omzet tenant di mal. Meskipun jumlah pengunjung terlihat tinggi, namun tidak semua dari mereka memberikan kontribusi langsung terhadap penjualan. Dari sisi luar, mal tampak ramai. Tapi ketika dilihat lebih dalam, aktivitas ekonomi di dalamnya tidak selalu bergerak seiring jumlah kaki yang lalu-lalang.
Sebagai “pasangan” dari rojali, istilah rohana ikut mencuat. Artinya rombongan hanya nanya. Bedanya tipis. Rohana biasanya masuk toko, banyak bertanya soal harga dan spesifikasi produk, tapi ujung-ujungnya tetap tidak membeli apa-apa.
Rojali dan Rohana mencerminkan realitas masyarakat perkotaan yang kompleks. Dikutip dari buku Pemasaran Ritel, Hendri Ma'ruf, (2006: 79), mal dan plaza memberi kenyamanan lebih besar kepada pengunjung ketimbang bentuk pusat belanja yang lain seperti pasar ataupun trade center. Dengan demikian, tak heran jika muncul fenomena ini. Di satu sisi, masyarakat ingin rekreasi dan mencari hiburan di tempat yang nyaman. Di sisi lain, kondisi finansial membatasi ruang gerak.
Media sosial punya peran penting dalam menyuburkan tren ini. Banyak orang datang ke mal bukan untuk belanja, tapi untuk ngonten. Bikin vlog, ambil foto OOTD, atau sekadar membuat story di tempat yang terlihat menarik. Aktivitas itu jadi semacam bentuk hiburan murah meriah.
Baca juga: Apakah Pasca Pemilihan Presiden Dapat Menyebabkan Krisis dalam Ilmu Ekonomi?
Meski terdengar sepele, makna apa itu rojali dan rohana layak jadi bahan refleksi. Istilah ini menjadi penanda adanya perubahan perilaku konsumen.
Karena pada akhirnya, perilaku konsumen tak hanya soal transaksi. Tapi juga tentang pengalaman, kebutuhan emosional, dan adaptasi terhadap kondisi ekonomi. Dan di tengah semua itu, rojali dan rohana hadir sebagai simbol zaman yang lucu, sekaligus menyentil. (CR)