
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X, jadi pembicara kunci dalam acara peringatan 200 tahun Perang Jawa di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, pada Jumat (25/7).
Dalam kesempatan itu, Sultan menegaskan bahwa nilai-nilai kepemimpinan Jawa yang dicontohkan oleh Pangeran Diponegoro masih relevan dalam menghadapi tantangan bangsa saat ini, termasuk krisis korupsi dan kerusakan lingkungan.
Menurutnya, perjuangan Pangeran Diponegoro bukan semata soal konflik politik atau perebutan kekuasaan, tetapi merupakan panggilan spiritual untuk menegakkan nilai dan keharmonisan hidup. Ia menyebut Diponegoro menghayati tiga prinsip kepemimpinan Jawa yang disebut Tri Satya Brata: Hamengkunegoro, Hamengkubuwono, dan Hamengkubumi.
“Diponegoro merasa terpanggil untuk Hamengkunegoro, membela negeri dan rakyatnya dari ketidakadilan kolonial. Sekaligus menjalankan Hamengkubumi dan Hamengkubuwono dengan membersihkan tanah Jawa dari pengaruh yang dianggap merusak tanah-tanah moral,” ujar Sultan, Jumat (25/7).

Tiga prinsip itu, lanjutnya, merupakan falsafah Jawa tentang kepemimpinan yang bertanggung jawab, menjunjung martabat dunia, dan memelihara rakyat serta alam secara utuh.
“Kepemimpinan Diponegoro bersifat holistik karena didasarkan pada falsafah hayuning bawana—harmoni dunia. Baginya, ini bukan sekadar nilai masa lalu, tetapi menjadi fondasi yang masih relevan dalam menghadapi krisis kontemporer, mulai dari korupsi hingga kerusakan lingkungan,” kata Sultan.
Ia menambahkan bahwa Diponegoro merupakan pemimpin yang tidak silau oleh kekuasaan atau kemewahan, tetapi justru rela berkorban demi rakyat dan kebenaran.
“Jiwa kedisiplinan Pangeran Diponegoro yang mampu mengandalkan diri, tidak larut dalam sifat angkara murka, menjadi contoh etika kepemimpinan yang patut kita junjung,” ucapnya.
Dalam orasi tersebut, Sultan juga menyinggung peran perempuan dalam sejarah, khususnya Ratu Ageng, nenek buyut Diponegoro, yang disebutnya sebagai sosok penting dalam membentuk karakter spiritual dan patriotik sang pangeran.
“Dari tangan dan keteladanan Ratu Ageng-lah tertanam jiwa keberanian, kesalehan, dan nasionalisme Pangeran Diponegoro yang telah membakar semangat Perang Jawa,” ungkapnya.
Sri Sultan mengingatkan bahwa Perang Jawa meninggalkan jejak mendalam terhadap identitas nasional dan semangat perlawanan terhadap ketidakadilan. Ia juga mengaitkannya dengan perjuangan Sultan Hamengku Buwono IX yang menjadikan Yogyakarta sebagai ibu kota Republik Indonesia pada masa Agresi Militer Belanda tahun 1946–1949.
“Panggilan Diponegoro membuktikan bahwa nilai-nilai lokal dan religiositas dapat menjadi landasan kuat untuk melawan dominasi asing,” tegasnya.
Orasi ditutup dengan ajakan agar semangat perjuangan Diponegoro menjadi inspirasi dalam menjawab tantangan zaman. Ia menekankan pentingnya kepemimpinan yang berintegritas, pembangunan budaya yang berakar, dan nasionalisme inklusif.
“Kini, 200 tahun berselang, roh perjuangan itu seakan menyertai setiap langkah kita dalam membangun negeri. Setiap kali pemimpin berbuat bijak demi rakyat, setiap kali budaya Indonesia dijunjung tinggi di pentas dunia, setiap kali ada sikap tegas menolak ketidakadilan, di situ pula semangat Pangeran Diponegoro lahir di antara kita,” ujar Sultan.