Perang berkelanjutan antara Iran dan Israel akan berdampak pada dunia, termasuk Indonesia. Penutupan Selat Hormuz, misal, bisa menaikkan harga minyak dunia, yang pada gilirannya berimbas ke pertumbuhan ekonomi negara.
***
Jumat dini hari, 13 Juni 2025, seharusnya menjadi momen tenang di kediaman Purkon Hidayat di Teheran Utara, Iran. Namun sekitar pukul 3 pagi, ketenangan itu pecah berkeping-keping karena ledakan tiba-tiba terdengar hingga membuat kaca rumahnya bergetar hebat.
Der. Beberapa puluh detik berselang. Der.
“Kita ke ruangan tengah,” ujar Purkon yang terbangun di pagi buta itu menginstruksikan istri dan anaknya menjauh dari kamar yang berjendela dan berkaca besar. Tak lama, bau mesiu yang menyengat menyusup ke dalam rumah membawa denyut ketakutan.
Di luar, dentuman kembali terdengar tiga hingga empat kali dalam rentetan cepat yang tak sampai satu menit. Purkon menduga, ini bukan dentuman biasa karena kecelakaan atau kebakaran, meskipun ia mendengar sirine pemadam kebakaran beberapa waktu setelah kejadian itu.

Ledakan yang getarannya Purkon rasakan ternyata menargetkan sebuah unit apartemen di lantai empat yang komplek apartemen itu hanya beberapa meter dari rumahnya. Menurut Purkon, sasarannya ialah rektor universitas bernama Tehranchi yang kemudian disebut tewas dengan anak-anaknya–menjadi bukti bahwa warga sipil berada di garis bidik.
Apa yang dialami Purkon, seorang Warga Negara Indonesia yang telah 24 tahun tinggal di Iran dan berprofesi sebagai dosen, rupanya adalah detik-detik pembuka dari eskalasi konflik terbaru yang menyeret Iran dan Israel ke perang yang berlangsung 12 hari berikutnya.
Peristiwa di dekat rumah Purkon hanyalah awal. Malam-malam berikutnya, ia mengatakan langit Teheran berubah menjadi panggung kembang api, di mana suara dar-der-dor dari pertempuran drone, serangan rudal, dan pertahanan udara menjadi musik latar dan panorama yang mengerikan bagi warga.

Di Iran, Purkon mendapati kabar serangan itu menarget sasaran yang diduga punya peran penting dalam militer dan pengembangan nuklir di Iran. Serangan juga meluas ke fasilitas publik seperti kantor berita resmi pemerintah hingga gudang penyimpanan bahan bakar.
Israel menamakan serangan tersebut sebagai Operation Rising Lion atau Singa yang Bangkit.
Kenapa Israel Menyerang Iran?
Sehari sebelum serangan ke Iran, kubu oposisi pemerintahan Israel mengajukan mosi pembubaran parlemen Israel (Knesset). Jika mosi berhasil lolos dengan suara terbanyak, ini dapat memicu pemilihan umum dini sebelum masa jabatan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu berakhir pada 2026.
Salah satu yang menjadi dalih mosi tersebut ialah aturan pengecualian wajib militer bagi kaum ultraortodoks (Haredi). Kelompok yang tengah menempuh studi seminari keagamaan ini dibebaskan dari kewajiban dinas militer di negara yang memberlakukan wajib militer bagi para pemuda Israel itu–dan selama ini memicu kecemburuan sosial kelompok lainnya.

Ini adalah kesekian kali kubu oposisi menekan pemerintah Netanyahu di tengah momentum perang berkepanjangan di Gaza sejak pemerintahannya gagal mencegah serangan Hamas terjadi pada 7 Oktober 2024. Meski akhirnya, pemerintah Netanyahu selamat setelah menang tipis 61 suara yang menolak mosi itu berbanding 53 yang mendukung dari 120 suara di Knesset.
Pengamat Timur Tengah Universitas Padjadjaran Dina Sulaeman menilai serangan ke Iran menjadi salah satu momentum Netanyahu untuk keluar dari jeratan krisis politik domestik di pemerintahannya tersebut.
“Netanyahu untuk mempertahankan kekuasannya supaya dia tetap jadi PM, dia melakukan serangan militer [ke Iran] tersebut. Kan langsung teralihkan opini publiknya. Yang tadinya banyak protes, tapi Netanyahu [dianggap] menunjukkan keberanian menyerang Iran,” ujar Dina kepada kumparan.

Di sinilah isu program nuklir Iran jadi dalih sentral. Mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Andi Widjajanto melihat alasan Israel menyerang karena proses pengayaan uranium oleh Iran yang dianggap mengancam Israel karena berpotensi menjadi senjata nuklir.
“Jadi kemudian 13 Juni, Israel melakukan opsi serangan militer ke fasilitas nuklir Iran,” ujar Andi.
Hanya saja Andi menilai Israel tidak dapat langsung yakin bahwa fasilitas nuklir Iran sudah hancur dengan serangan bom biasa. Sebab, khususnya di fasilitas nuklir Fordow yang berada hingga kedalaman 80-90 meter di bawah tanah, hal itu menurut Andi hanya bisa dihancurkan dengan bom bunker buster milik Amerika Serikat.
Israel akhirnya menyeret AS dan membuatnya membantu mengebom 3 fasilitas nuklir Iran yakni Fordow, Nathan, dan Isfahan pada Sabtu (21/6) menggunakan pesawat pengebom siluman B-2 Spirit dalam Operation Midnight Hammer.

Namun, keterlibatan Washington kali ini bukanlah repetisi dari konflik-konflik lama di Timur Tengah sebelumnya yang didorong oleh perebutan minyak. Pengamat Ekonomi, Wijayanto Samirin, menjelaskan bahwa lanskap energi global telah berubah. Amerika kini tak lagi bergantung sepenuhnya pada pasokan Timur Tengah. Badan Informasi Energi AS (EIA) mencatat, pada 2024 hanya 7% minyak mentah yang mengarah ke AS melintasi Selat Hormuz.
“Motivasi konflik di Timur Tengah, kalau saya melihat dari sudut pandang political-economy, sekarang lebih kepada isu eksistensial Israel,” kata Wijayanto Samirin saat diwawancara di kampusnya, Universitas Paramadina.
Menurutnya, strategi Israel adalah menumpas siapa pun yang berpotensi menjadi lawannya di kawasan. Setelah Mesir, Suriah, Libya, dan Irak berhasil dilemahkan, hanya Iran yang tersisa sebagai kekuatan signifikan yang dianggap mampu berhadapan langsung dengan Israel.

AS, menurut Wijayanto dan Dina, terseret membantu Israel karena negara itu mempunyai pengaruh luar biasa di internal politik AS melalui lobi. Selain itu, tokoh dan kelompok pro Israel juga selama ini menjadi donatur Trump dalam pemilu.
Dina menyebut Iran dianggap ancaman keamanan bagi Israel karena Iran selama ini memberi bantuan senjata dan insinyur ke para pejuang Palestina seperti Hamas. Kebijakan luar negeri Iran ini tidak disukai Israel, terlebih jika suatu saat Iran akan menyerang Israel dengan tangannya sendiri.
Karenanya serangan ke Iran menurut Dina memiliki agenda–bukan semata-mata karena nuklir atau misil–tetapi untuk membuat agar pemerintah Iran lemah dan mendorong penggulingan rezim.
“Tujuan utamanya itu, supaya ada rezim atau pemerintahan baru yang tidak mendukung Palestina dengan cara seperti (memberi senjata) itu,” kata Dina.

Amatan itu terbukti lantaran beberapa waktu setelah serangan pada 13 Juni, Netanyahu merilis tiga konferensi pers dalam bahasa Ibrani dan Inggris yang menjelaskan alasannya menyerang Iran.
Pertama, menghadapi ancaman eksistensial negara Israel dari pengembangan senjata nuklir dan rudal balistik Iran. Kedua, mengisyaratkan perang terhadap rezim pemerintahan Republik I...