
PEMERINTAH dan DPR tengah menggodok Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang diharapkan membawa wajah baru bagi sistem peradilan pidana di Indonesia. Namun di tengah semangat memperkuat perlindungan hak asasi manusia (HAM), muncul kekhawatiran bahwa revisi ini justru bisa melemahkan upaya pemberantas korupsi, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej menegaskan bahwa filosofi utama dari revisi KUHAP adalah menjamin perlindungan HAM bagi semua pihak yang terlibat dalam proses hukum. Ia menekankan bahwa hukum acara pidana tidak semata-mata untuk menghukum tersangka, tetapi untuk memastikan tidak terjadinya kesewenang-wenangan negara terhadap warga negaranya.
“Filosofi hukum acara pidana adalah melindungi hak asasi manusia dari potensi kesewenang-wenangan. Oleh karena itu, semua hak, baik hak korban, hak tersangka, hak perempuan, hak saksi, maupun hak disabilitas harus diakomodasi secara adil,” ujar Eddy dalam diskusi publik bersama advokat dan aktivis HAM Haris Azhar di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, beberapa waktu lalu.
Menurut Eddy, dalam hukum acara pidana terdapat dua kepentingan yang saling bertentangan, yaitu kepentingan pelapor dan terlapor. Maka dari itu, hukum acara pidana harus dirancang secara netral dan seimbang.
POSISI RAKYAT
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menyatakan bahwa revisi KUHAP merupakan bagian dari upaya menciptakan keseimbangan antara kekuasaan negara dan hak-hak warga sipil. Sebagai mantan pengacara publik, ia mengakui bahwa posisi warga sering kali lemah ketika berhadapan dengan aparat penegak hukum.
“Negara ini terlalu kuat dibandingkan warga sipil dalam sistem hukum kita saat ini. Revisi ini adalah upaya untuk meminimalkan ketimpangan itu dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan,” kata Habiburokhman.
Ia juga menyoroti bahwa KUHAP yang berlaku saat ini dibentuk pada era Orde Baru sudah tidak relevan. Salah satu kelemahan utamanya adalah terbatasnya peran advokat dalam proses penyidikan. Bahkan, advokat hanya diperbolehkan hadir sebagai pendengar tanpa hak aktif dalam proses pemeriksaan tersangka.
Selain memperkuat peran advokat, DPR juga mendorong adanya perbaikan mendasar dalam sistem penahanan. Parameter penahanan yang selama ini berdasarkan kekhawatiran subjektif, seperti potensi melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi perbuatan pidana dinilai terlalu longgar dan rentan disalahgunakan.
PASAL RAWAN
Namun di balik semangat reformasi tersebut, kritik tajam datang dari koalisi masyarakat sipil juga dan KPK. Mereka menilai beberapa ketentuan dalam RUU KUHAP berpotensi menggerus independensi KPK dalam menangani perkara korupsi.
Dengan KUHP baru yang telah disahkan, urgensi pembaruan KUHAP makin mendesak. Namun, tantangan besar bagi pembuat undang-undang adalah memastikan agar semangat perlindungan HAM dan transparansi hukum tidak bertabrakan dengan upaya pemberantasan korupsi dan independensi institusi penegak hukum seperti KPK.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Erma Nuzulia, menyebut bahwa Pasal 7 dan Pasal 8 dalam RUU KUHAP menjadi titik rawan. Pasal 7 ayat (3) dan (4) mewajibkan semua penyidik, termasuk penyidik tertentu, berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri. Walaupun ada pengecualian bagi KPK pada ayat (5), Pasal 8 ayat (3) menyatakan bahwa penyerahan berkas perkara ke penuntut umum harus melalui penyidik Polri tanpa pengecualian untuk KPK.
“Ini menciptakan celah serius bagi intervensi. Jalur langsung yang selama ini dimiliki KPK justru dihapus. Padahal independensi KPK adalah tulang punggung efektivitas pemberantasan korupsi,” kata Erma.
CELAH TRANSAKSI
Erma menilai perumusan norma yang tidak konsisten ini mencederai prinsip due process of law dan membuka celah transaksional, terutama dalam kasus yang melibatkan pejabat tinggi negara. Menurutnya, keharusan penyerahan berkas perkara melalui Polri membuka potensi penghambatan administratif hingga intervensi politis terhadap proses hukum.
KPK telah mengidentifikasi 17 poin dalam RUU KUHAP yang dinilai melemahkan fungsi dan kewenangan lembaga antirasuah itu. Juru bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan beberapa poin krusial, mulai dari pembatasan penyelidikan, penyadapan, dan penyitaan, hingga penghapusan kewenangan KPK dalam perlindungan saksi dan pelapor.
“RUU KUHAP membatasi penyadapan hanya pada tahap penyidikan dan harus dengan izin ketua pengadilan. Padahal dalam praktik, penyadapan efektif dilakukan sejak penyelidikan,” ujar Budi.
WAJIB LAPOR
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa penyelidik KPK ke depan tidak lagi diakomodasi secara eksplisit, dan seluruh penyidikan harus dilaporkan ke Polri. Bahkan penghentian penyidikan pun wajib melibatkan kepolisian.
KPK juga memprotes ketentuan bahwa perkara tidak boleh disidangkan jika tersangka mengajukan praperadilan. Padahal selama ini, praperadilan dianggap gugur jika perkara sudah masuk ke pokok persidangan.
Kekhawatiran lain termasuk kewajiban penggeledahan dan penyitaan yang harus disetujui penyidik Polri di wilayah setempat serta pengalihan tugas perlindungan saksi dari KPK ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Selain itu, pengangkatan sementara jaksa untuk penuntutan di luar yurisdiksi daerah juga harus melalui Jaksa Agung.(Faj/Ant/Can/P-3)