
Industri pertahanan Indonesia dinilai telah memiliki fondasi yang kuat untuk berkembang menjadi kekuatan regional. Namun, tantangan besar masih membayangi, terutama dalam penguasaan teknologi kunci, integrasi riset, dan pengelolaan sumber daya manusia.
Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan sejumlah BUMN pertahanan seperti PT Penataran Angkatan Laut (PAL) Indonesia, PT Perindustrian Angkatan Darat (Pindad), dan PT Dirgantara Indonesia (PTDI) telah membuktikan kapasitas produksinya.
Bahkan di beberapa proyek, Indonesia sudah menerapkan skema offset transfer teknologi dan joint production. Salah satunya, pembuatan kapal selam yang sebagian prosesnya dilakukan di PT PAL.
"PT PAL ini termasuk yang paling oke. Proses pembangunan kapal selam dari Korea pun sebagian dilakukan di sana. Artinya, transfer teknologinya berjalan dan kemampuan dasar kita sudah ada," ujar Fahmi, Kamis (14/8).
Menurutnya, untuk sektor perkapalan, Indonesia tergolong aman. Selain fasilitas milik PT PAL, terdapat banyak galangan kapal swasta yang bisa dilibatkan untuk produksi maupun perawatan kapal militer.
"Tidak kalah PT PAL. Sekarang ada proyek fregat (kapal perang) Merah Putih, kapal selam baru, kapal patroli cepat, dan kapal bantu logistik. Industri swasta juga sudah bikin kapal angkut personel dan kapal serbu cepat. Jadi kalau bicara kemampuan dasar, kita aman dan siap," terangnya.
Meski begitu, Fahmi menekankan kemandirian pertahanan tidak berarti menutup pintu impor sepenuhnya. Pembelian alutsista dari luar negeri juga memiliki peran strategis. "Ibaratnya, kita belanja di warung tetangga untuk menjaga hubungan baik," katanya.
Ia menyoroti sektor drone sebagai salah satu kebutuhan pertahanan yang potensinya besar namun belum tergarap optimal. Hambatan utamanya adalah keterbatasan akses terhadap teknologi kunci seperti sistem persenjataan, radar, dan sensor. "Tanpa penguasaan teknologi kunci, kita hanya jadi perakit. Bodinya kita buat, tapi komponennya beli dari luar," jelasnya.
Kondisi kekuatan udara pun tak luput dari perhatian. Walau jumlah pesawat tempur Indonesia relatif banyak, lebih dari separuhnya sudah tua dan mendekati batas usia pakai. Menurut Fahmi, peremajaan alutsista udara sangat mendesak, apalagi tren peperangan modern semakin bergantung pada teknologi jarak jauh dan drone.
Ia memandang pembentukan holding BUMN pertahanan, Defend ID, sebagai langkah positif untuk memusatkan kekuatan industri dan memperjelas arah pengembangan. Namun, hal itu harus dibarengi roadmap yang jelas, ekosistem riset lintas sektor, dan pendanaan memadai.
"Kalau kapasitas bikin seribu unit, jangan cuma dipakai sepuluh. Bangun pasarnya, kembangkan rantai pasoknya. Presiden dan Menhan sudah mulai rintis, tapi pelaksananya harus kolaboratif, bukan saling bersaing," tuturnya.
Fahmi juga menyoroti pentingnya pengelolaan sumber daya manusia berkualitas, termasuk memanfaatkan diaspora Indonesia yang memiliki keahlian di bidang teknologi pertahanan. "Memanggil mereka pulang itu nggak cukup. Harus ada tempat yang layak dan tepat, jangan sampai malah menganggur," pungkasnya. (E-3)