
Perempuan merupakan kelompok yang rentan terhadap kekerasan berbasis gender (KBG) karena faktor relasi kuasa yang kuat di dalam suatu hubungan.
Komnas Perempuan mencatat akumulasi data KBG terhadap perempuan selama 10 tahun (2014–2023) mencapai lebih dari 2,5 juta kasus. Berdasarkan data pengaduan yang masuk ke Komnas Perempuan per tahun 2023, dari 1.944 kasus KBG terhadap perempuan, 674 di antaranya adalah kekerasan terhadap istri (KTI).
Sebelum terjebak lebih dalam di hubungan yang membahayakan mental dan keselamatan, kenali tanda-tanda KDRT yang mungkin muncul dari pasanganmu.
Relasi kuasa yang timpang

Ini adalah tanda paling awal yang menjadi cikal bakal terjadinya kekerasan dalam suatu hubungan. Ladies, ketika pasanganmu merasa memiliki kontrol atau kuasa atas dirimu, maka ada potensi terjadinya kekerasan di masa depan, baik secara verbal, emosional, maupun fisik.
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Sri Nurherwati menyebutkan hubungan relasi kuasa dengan kekerasan dalam hubungan kepada kumparanWOMAN di diskusi publik LPSK pada Rabu (23/07).
“Ketika ada relasi kuasa, salah satu pasangan ini menentukan, ya, mengatur, mengontrol itu merupakan salah satu ciri itu akan terjadi KDRT,” jelasnya.
Ketimpangan ini sering kali tidak disadari pada awalnya, tetapi dapat terdeteksi melalui pola perilaku tertentu. Bagaimana caranya mengetahui bahwa ada relasi kuasa yang timpang dalam hubunganmu?
Di kesempatan yang sama, Ketua Komnas Perempuan Maria Ulfah menjelaskan kepada kumparanWOMAN bahwa jika pendapatmu diabaikan, perasaanmu diremehkan, atau pandanganmu dianggap tidak penting, ini adalah tanda adanya ketimpangan relasi kuasa. Misalnya, keputusan besar dalam hubungan selalu diambil secara sepihak tanpa diskusi.
“Istilahnya kalau dalam perkawinan itu, ada kesalingan. Relasi yang dibangun adalah relasi kesalingan, relasi yang setara,” pungkas Maria.
Kekerasan verbal

Bentuk kekerasan verbal ada banyak, seperti secara konstan meninggikan suara atau membentak, terutama di depan orang lain, termasuk anak-anak; melontarkan caci-maki, hinaan, atau ejekan yang merendahkan harga diri; hingga menggunakan kata-kata untuk mengancam atau mengintimidasi dan menciptakan rasa takut yang tertanam kuat di alam bawah sadar.
Jika hal ini terjadi, Maria menuturkan penting untuk menentukan batasan-batasan di dalam suatu hubungan. Kuncinya adalah lakukan komunikasi yang terbuka.
“Dalam hal-hal yang sensitif sekalipun harus ada keterbukaan dalam komunikasi,” kata Maria.
Ladies, kalau pasanganmu tidak mau menghormati batasan yang ditetapkan, ini bisa menjadi sinyal untuk mengevaluasi hubungan lebih lanjut.
Membuatmu merasa depresi

Ladies, KDRT juga bisa dilakukan dalam bentuk manipulasi psikologis.
Contohnya seperti apa? Misal, pasanganmu secara terus-menerus merendahkan, mengkritik, atau menjauhkan dirimu dari keluarga maupun lingkungan, lalu membuatmu merasa depresi dan rendah diri, maka itu adalah bentuk manipulasi psikologis.
Pasangan yang menganggap dirimu setara dalam hubungan tidak seharusnya membuatmu meragukan diri dan value-mu sendiri.
“Menjadi depresi. Itu juga menjadi bagian dari KDRT,” ujar Maria.
Kekerasan fisik

Ketika hubungan telah mencapai tahap kekerasan fisik, ini adalah tanda bahaya yang jelas dan tidak dapat ditoleransi. Frekuensi kekerasan yang terjadi satu atau dua kali saja tidak dapat dijadikan alasan. Kekerasan fisik mencakup tindakan seperti memukul, menendang, mencekik, menampar, atau tindakan lain yang dilakukan tanpa persetujuan (consent).
Pemaksaan hubungan seksual

Memaksa pasangan—yang sudah terikat pernikahan sekali pun—untuk melakukan aktivitas seksual tanpa persetujuan, baik melalui tekanan fisik maupun emosional, adalah bentuk kekerasan seksual.
“Dalam pernikahan itu ada perkosaan. Pemaksaan hubungan seksual itu perkosaan. Bahwa ada terminologi bahwa perkosaan itu di luar nikah, siapa bilang? Dalam pernikahan itu juga banyak yang terjadi perkosaan,” jelas Maria.
Maria juga memaparkan jika sedang tidak ingin melakukan hubungan seksual, lalu dipaksa oleh pasangan, itu juga bentuk dari pemerkosaan.
Jika telah terjadi KDRT, apa yang harus dilakukan?

1. Mencari dukungan
Jika KDRT telah terjadi, sulit bagi korban untuk memberanikan diri melapor ke pihak berwenang. Oleh karena itu, mencari pendamping berupa pihak yang dapat dipercaya bisa menjadi langkah pertama.
“Pendamping supaya ada teman untuk berdiskusi, curhat, kemudian juga setidaknya ada saksi yang bisa diminta nantinya ketika proses hukum,” tutur Sri Nurherwati.
Namun, kalau tidak ada pihak terdekat yang dapat dipercaya, kasus KDRT bisa dilaporkan ke Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) melalui layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 di nomor WhatsApp 08111-129-129.
2. Laporkan ke pihak berwenang
KDRT diatur dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, laporkan kekerasan yang dialami—baik berupa kekerasan fisik maupun ancaman—ke pihak kepolisian.
Laporan yang dibuat disarankan didukung dengan bukti-bukti kekerasan yang dialami, seperti foto bekas luka, rekaman suara, tangkapan layar pesan elektronik, dan lain sebagainya.
Setelah melapor ke kepolisian dan mendapatkan nomor laporan, korban dapat mengirimkan laporan tersebut ke Komnas Perempuan untuk dipantau dan dikawal perkembangan kasusnya.
3. Dapatkan bantuan profesional
Kasus kekerasan bisa menimbulkan luka trauma pada korban, dapatkan bantuan profesional dengan mengkonsultasikan trauma emosional kepada psikolog atau konselor.
Penulis: Zulfa Salman