
Indonesia resmi dikenakan tarif impor resiprokal Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sebesar 32 persen, angkanya tidak berubah dari pengumuman awal pada 2 April 2025 lalu.
Melalui media sosial Truth Social, Senin (7/7) waktu setempat, Trump mengunggah surat mengenai tarif yang ditujukan kepada Presiden Indonesia Prabowo Subianto. Tarif tersebut akan berlaku mulai 1 Agustus 2025.
"Mulai 1 Agustus 2025, kami akan mengenakan tarif sebesar 32 persen untuk semua produk asal Indonesia yang masuk ke Amerika Serikat, terpisah dari semua tarif sektoral lainnya. Barang-barang yang diteruskan melalui negara ketiga untuk menghindari tarif yang lebih tinggi juga akan dikenakan tarif tersebut," kata Trump.
Dalam surat tersebut, Trump menegaskan bahwa defisit perdagangan AS terhadap Indonesia merupakan ancaman besar bagi ekonomi AS dan bahkan terhadap keamanan nasional.
"Kami telah bertahun-tahun berdiskusi mengenai hubungan dagang dengan Indonesia, dan kami menyimpulkan bahwa kami harus menjauh dari kebijakan jangka panjang yang sangat persisten yang menyebabkan defisit perdagangan besar karena tarif dan kebijakan non-tarif serta hambatan perdagangan dari Indonesia. Hubungan kita sejauh ini, sayangnya, tidak bersifat timbal balik," tegas Trump.
Surplus Neraca Perdagangan Sejak 2015
Indonesia memang selalu mencatatkan surplus neraca perdagangan terhadap AS. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan surplus neraca perdagangan tersebut terjadi sejak tahun 2015 alias satu dekade ke belakang.
Berdasarkan catatan BPS, neraca perdagangan Indonesia kepada AS selalu surplus. Pada 2015, surplus neraca perdagangan Indonesia kepada AS sebesar USD 8,65 miliar, lalu pada 2016 sebesar USD 8,84 miliar, dan pada 2017 sebesar USD 9,67 miliar.
Kemudian, pada 2018 dan 2019 surplusnya masing-masing sebesar USD 8,26 miliar dan USD 8,58 miliar, meskipun neraca perdagangan total Indonesia tengah defisit.
Selanjutnya pada 2020, neraca perdagangan Indonesia kepada AS sebesar USD 10,04 miliar dan pada 2021 mencapai USD 14,54 miliar. Adapun 2022 menjadi tahun dengan surplus neraca perdagangan Indonesia kepada AS yang terbesar mencapai USD 16,57 miliar.
Sementara pada 2023, surplus neraca perdagangan dengan AS yakni USD 11,97 miliar dan pada 2024 mencapai USD 14,34 miliar. Bahkan selama periode Januari-Maret 2025, Indonesia juga masih mencatatkan surplus neraca perdagangan dengan AS sebesar USD 4,32 miliar.
Produk Indonesia yang diekspor ke AS
Adapun tren peningkatan neraca perdagangan Indonesia dengan AS lebih didorong oleh neraca perdagangan non-migas. Sementara untuk perdagangan migas, Indonesia mengalami defisit.
Sepanjang Januari-Maret 2025, komoditas utama yang diekspor ke AS sangat didominasi oleh ekspor komoditas non-migas, antara lain mesin dan perlengkapan elektrik (HS 85) senilai USD 1.220 juta atau mencakup 16,71 persen dari total ekspor Indonesia ke AS.
Selanjutnya alas kaki (HS 64) dengan nilai ekspor USD 657,9 juta mencakup 9,01 persen dari total ekspor Indonesia ke AS, lalu pakaian dan aksesoris rajutan (HS 61) dengan porsi 8,61 persen, keempat pakaian dan aksesoris bukan rajutan (HS 62) dengan porsi 7,78 persen, dan terakhir lemak dan minyak hewan nabati (HS 15) alias minyak sawit dengan porsi sebesar 6,94 persen.
Ekspor RI ke AS 2,2 persen dari PDB
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai, kebijakan tarif Trump membuka peluang bagi Indonesia untuk menarik perusahaan multinasional yang berencana memindahkan fasilitas produksi dari negara-negara dengan tarif lebih tinggi.
Sebab, ekspor Indonesia ke AS hanya mencakup 2,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara seperti Vietnam yang ekspornya ke AS mencapai 33 persen dari PDB. Hal ini, menurutnya, membuat Indonesia lebih tahan terhadap dampak kebijakan tarif Trump.
"Jadi Amerika bukan satu-satunya market yang membuat kita susah. Kita bisa antisipasi ini Pak Presiden. Top ekspor kita adalah China 60 miliar, Amerika 26 miliar, dan India 20 miliar. Nah tentu kita bisa membuka market lain di luar Amerika," jelasnya dalam Sarasehan Ekonomi, Selasa (8/4).
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai, sebelum adanya tarif Trump, pertumbuhan ekspor Indonesia secara tahunan menunjukkan tren positif, seperti ekspor sektor pertanian yang tumbuh 52 persen dan manufaktur 29 persen. Neraca perdagangan pun selalu mencatat surplus.
"Kalau kita lihat dari sisi neraca perdagangan ini Amerika adalah the second largest, tapi antara yang the first largest yaitu China, Amerika itu 23 billion. Dan ini tidak banyak berbeda dengan destinasi lainnya," jelas Sri Mulyani.