REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan kesepakatan tarif dagang dengan Amerika Serikat (AS), perjanjian IEU-CEPA, revisi aturan relaksasi impor, dan kebijakan TKDN membuat Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur pada Juli naik setelah empat bulan beruntun turun. Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif menyatakan, PMI manufaktur Indonesia pada Juli yang berada di angka 49,2 poin tersebut melonjak 2,3 poin dari bulan sebelumnya yang di angka 46,9 poin.
PMI manufaktur Indonesia pada bulan Juli juga mampu melampaui PMI manufaktur Jepang yang di angka 48,8, Prancis 48,4, Inggris 48,2, Korea Selatan 48,0, dan Taiwan 46,2 poin.
"PMI naik karena beberapa minggu terakhir terdapat dinamika kebijakan yang membuat pelaku industri lebih optimistis,” kata dia.
Menurut Jubir Kemenperin, optimisme para pelaku industri dalam negeri itu karena di antaranya terjalin kesepakatan tarif antara Indonesia dan AS.
“Berkat kepiawaian Bapak Presiden Prabowo dalam bernegosiasi, Indonesia berhasil memperoleh tarif yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan negara-negara pesaing. Hal ini menjadi modal penting bagi peningkatan daya saing industri nasional,” ungkapnya.
Selanjutnya, kebijakan yang dinilai pro industri, yakni kemajuan perundingan IEU-CEPA. Perjanjian dagang ini dinilai sangat dinanti dan diapresiasi oleh pelaku industri karena akan membuka hambatan ekspor yang selama ini dihadapi oleh produk manufaktur Indonesia. Perjanjian IEU-CEPA ini juga diyakini akan membuka akses pasar ekspor Indonesia ke kawasan Eropa secara lebih luas dan kompetitif.
“Selain itu, revisi Permendag 8 Tahun 2024 yang juga menjadi faktor penting dalam upaya mendorong kepercayaan pelaku industri dalam negeri,” ujar Febri.
Namun, Febri menekankan dunia usaha juga masih mempertanyakan regulasi lanjutan untuk perlindungan sektor lainnya.
“Setelah industri tekstil dan produk tekstil (TPT) mendapat perlindungan melalui revisi Permendag 8/2024, pelaku usaha di sektor lain juga menanti kebijakan serupa yang mampu memberikan rasa keadilan dan kepastian dalam persaingan pasar,” ucapnya.
Febri menyampaikan, para industrialis dalam negeri masih menanti kepastian teknis dari kesepakatan dagang dengan Amerika Serikat.
“Saat ini industri menunggu kejelasan hasil negosiasi lanjutan antara Tim Negosiasi Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat, khususnya terkait isu non-tariff barriers (NTB) dan non-tariff measures (NTM),” tuturnya.
Salah satu isu yang menjadi perhatian adalah kemungkinan produk bermerek Amerika namun diproduksi di luar AS, seperti di China atau India yang tetap mendapat fasilitas bebas bea masuk.
“Bagi Kemenperin, hanya barang yang benar-benar diproduksi di wilayah Amerika Serikat yang layak mendapat bea masuk nol persen,” kata Febri.
Ia juga menyoroti kekhawatiran pelaku industri terhadap keberlanjutan kebijakan TKDN, khususnya untuk izin edar Handphone, Komputer Genggam, dan Tablet (HKT).
Menurut Febri, kebijakan TKDN memanfaatkan permintaan dari pemerintah, dengan adanya permintaan dan kebijakan TKDN secara langsung memicu pengusaha untuk berinvestasi dan membangun pabriknya di Indonesia.
Lebih lanjut, survei PMI juga menunjukkan bahwa meski ada perbaikan, sektor manufaktur masih menghadapi sejumlah tekanan, mulai dari turunnya permintaan ekspor, penurunan tenaga kerja, hingga naiknya harga input akibat konflik geopolitik dan pelemahan rupiah. Meski demikian Kemenperin melihat ada peluang yang harus dimaksimalkan.
“Kami optimis bahwa melalui kebijakan yang konsisten dan berpihak pada industri dalam negeri, serta menjaga keseimbangan dalam perjanjian dagang internasional, sektor manufaktur Indonesia akan kembali ekspansif,” kata Febri.
Jubir Kemenperin menambahkan, pihaknya tidak pernah menggunakan hasil PMI manufaktur sebagai dasar analisis atau perumusan kebijakan.
“Kami menghargai hasil survei PMI sebagai referensi umum, namun dalam merumuskan kebijakan, Kemenperin menggunakan Indeks Kepercayaan Industri (IKI)," katanya.
Jumlah perusahaan industri yang menjadi sampel IKI rata-rata 3.100 perusahaan, sementara survei PMI yang dirilis S&P Global tidak lebih dari 500 perusahaan.
sumber : Antara