
BADAN Bank Tanah (BBT) menerapkan pendekatan humanis dalam menangani konflik lahan eks-HGU PT. Sandabi Indah Lestari di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Melalui edukasi langsung di lapangan, sejumlah oknum pengklaim lahan akhirnya mengakui kesalahan dan secara sukarela menyerahkan kembali tanah negara yang sebelumnya mereka kuasai.
Team Leader Project Poso, Mahendra Wahyu, menjelaskan bahwa strategi pendekatan sosial dilakukan secara konsisten, terutama kepada pihak-pihak yang selama ini tidak memahami status hukum lahan yang mereka tempati.
“Kita ini tidak langsung menyalahkan. Justru kita dekati saat mereka bertani, kita beri edukasi. Mereka tanam jagung, hortikultura, di situlah kami masuk, bicara pelan-pelan soal status lahan ini,” ujar Hendra, kemarin.
Pendekatan Kekeluargaan, Bukan Konfrontatif
Menurut Hendra, banyak oknum yang semula menguasai lahan secara ilegal akhirnya luluh setelah memahami duduk perkara. Beberapa bahkan menguasai lebih dari 100 hektare dan mengaku baru sadar bahwa lahan tersebut merupakan milik negara.
“Ada yang datang ke kantor sendiri. Dia mengaku salah dan minta agar tidak dilibatkan dalam proses hukum. Kami terima baik, selama ada niat mengembalikan dan tak mengulangi lagi,” katanya.
Hendra menyebut bahwa pendekatan yang digunakan oleh tim di lapangan, lebih menekankan dialog kekeluargaan daripada tekanan hukum.
“Kami beri kesempatan mereka tanya ke BPN Poso, agar tidak hanya mendengar dari kami. Bahkan ada yang datang dengan penasihat hukumnya dan akhirnya mengakui juga bahwa tanah ini tidak bisa diperjualbelikan,” ujarnya.
Tidak Ada Kriminalisasi Masyarakat
Hendra menegaskan bahwa BBT tidak pernah mengkriminalisasi masyarakat, apalagi warga lokal yang selama ini hanya menerima informasi secara turun-temurun.
“Yang kami kejar itu provokator dan dalangnya, bukan masyarakat biasa. Warga yang betul-betul butuh lahan dan menempati dengan itikad baik, justru kita edukasi dan bantu masuk program Reforma Agraria,” jelas Hendra.
Program Reforma Agraria yang dicanangkan pemerintah melalui BBT di wilayah Poso mencakup lahan seluas 1.550 hektare. Tahap pertama telah dimulai di Desa Kalimago, salah satu lokasi eks-kerusuhan di Poso. Pendekatan yang digunakan bukan hanya pembagian lahan, tapi juga disertai bibit, pupuk, dan pendampingan pasca-serah-terima.
Hendra juga menyebut pentingnya mencegah konflik berulang akibat ketidaktahuan hukum. Edukasi dijadikan sebagai alat untuk mempersempit ruang gerak mafia tanah tanpa memicu konfrontasi.
“Kami sadar bahwa tidak semua bisa diselesaikan dengan pendekatan hukum saja. Yang penting sekarang, bagaimana masyarakat sadar dan kita hindari kriminalisasi lebih jauh,” tutupnya. (Z-10)