
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede berpandangan surplus perdagangan barang yang sudah berlangsung selama 62 bulan berturut-turut menjadi bantalan utama ketahanan ekonomi eksternal Indonesia.
Sektor tradables atau sektor penghasil barang dinilai mampu menghasilkan devisa secara konsisten, meskipun menghadapi pelemahan siklus komoditas dan permintaan global yang tidak menentu.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan barang Indonesia mengalami surplus sebesar US$19,48 miliar sepanjang Januari–Juni 2025. Angka ini naik US$3,90 miliar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Surplus ini membuat Indonesia terus mencatatkan kinerja positif sejak Mei 2020. Rinciannya, ekspor pada Januari-Juni 2025 mencapai US$135,41 miliar, lebih tinggi dibandingkan impor sebesar US$115,94 miliar.
"Surplus dagang kita yang berlangsung selama 62 bulan berturut-turut jelas mencerminkan ketahanan eksternal Indonesia," ujar Josua kepada Media Indonesia, Rabu (27/8).
Menurut Josua, surplus ekspor bekerja sebagai bantalan stabilitas melalui dua kanal utama. Pertama, kanal suplai valas, di mana penerimaan devisa ekspor menambah pasokan dolar di pasar, mengurangi kebutuhan intervensi Bank Indonesia, dan membantu meredam volatilitas rupiah.
Kedua, kanal fundamental, di mana semakin besar surplus barang maka semakin kecil defisit transaksi berjalan, sehingga persepsi risiko eksternal membaik.
Meski demikian, daya tahan surplus ini berubah mengikuti siklus. Pada kuartal I-2025, surplus barang sebesar US$12,99 miliar mampu menutup sekitar 88% defisit jasa dan pendapatan primer. Namun pada kuartal II-2025, daya tutup turun menjadi 69%, seiring meningkatnya impor dan pembayaran pendapatan primer musiman.
Josua menuturkan dalam jangka pendek nilai rupiah lebih banyak dipengaruhi oleh aliran dana investasi (portofolio) dibandingkan surplus perdagangan. Seperti di kuartal II-2025, meski Indonesia masih mencatat surplus perdagangan barang, rupiah tetap tertekan karena banyak investor menarik dananya keluar akibat kondisi global yang penuh ketidakpastian, seperti risiko perang dagang baru dan gejolak geopolitik.
Ke depan, ada beberapa risiko yang bisa melemahkan surplus ekspor. Misalnya, ekspor bisa kembali normal setelah peningkatan besar di paruh pertama 2025, defisit jasa yang dipengaruhi ongkos angkut dan pariwisata, serta pembayaran dividen dan bunga yang biasanya meningkat secara musiman sehingga menekan neraca pendapatan primer.
Meski begitu, proyeksi dasar masih menunjukkan defisit transaksi berjalan (CAD) di 2025 berada pada level aman, sekitar -0,81% PDB. Selain itu, peluang pelonggaran kebijakan The Fed dapat menarik kembali aliran dana portofolio asing, sehingga membantu menutup defisit finansial sekaligus menjaga stabilitas rupiah dan cadangan devisa.
"Artinya, surplus ekspor tetap menjadi penopang utama stabilitas eksternal Indonesia," tegasnya.
Namun, lanjut Josua, dampaknya akan lebih kuat jika diiringi perbaikan neraca jasa seperti logistik dan pariwisata, peningkatan reinvestasi penanaman modal asing atau FDI untuk mengurangi kebocoran pendapatan primer. Serta, koordinasi yang erat antara kebijakan moneter dan fiskal guna menjaga kepercayaan pasar.
Sebelumnya, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini menjelaskan, surplus sepanjang Januari-Juni 2025 ditopang oleh surplus komoditas non migas sebesar US$23,81 miliar, sementara komoditas migas masih mengalami defisit US$8,83 miliar.
Untuk nilai ekspor Januari-Juni 2025 naik 7,70% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan ini terutama didorong oleh sektor industri pengolahan, yang mencatat nilai ekspor sebesar US$107,60 miliar, atau naik 16,57%.
Kinerja positif sejumlah komoditas unggulan masih berlanjut sepanjang Januari-Juni 2025. Ekspor besi dan baja capai US$13,79 miliar, naik 9,79% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Sedangkan ekspor minyak kelapa sawit (CPO) dan produk turunannya naik 24,81% menjadi US$11,43 miliar. Namun, tak semua komoditas unggulan mencatat kinerja positif. Ekspor batubara turun 21,09% menjadi US$11,97 miliar.
”Total ketiganya memberikan share sekitar 28,97% dari total ekspor nonmigas Indonesia pada Januari–Juni 2025," Pudji dalam keterangan pers.
Pudji melanjutkan tiga besar negara tujuan ekspor Indonesia adalah Tiongkok, Amerika Serikat, dan India. Share ketiga negara ini sekitar 41,34% dari total ekspor non migas Indonesia pada Januari-Juni 2025.
Tiongkok tetap menjadi pasar ekspor utama komoditas non migas Indonesia dengan nilai mencapai US$29,31 miliar (22,83%), disusul Amerika Serikat sebesar US$14,79 miliar (11,52%) dan India sebesar US$8,97 miliar (6,99%). Ekspor ke Tiongkok didominasi oleh besi dan baja, bahan bakar mineral, serta produk nikel. Sementara ekspor ke Amerika Serikat didominasi oleh mesin dan perlengkapan elektrik, alas kaki, serta pakaian dan aksesorisnya
Dari sisi impor, nilai impor Indonesia pada Januari-Juni 2025 mencapai US$115,94 miliar atau meningkat 5,25% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Penyumbang utama masih berasal dari sektor non migas, dengan nilai impor US$100,07 miliar, naik 8,60%.
Sedangkan, impor sektor migas mengalami penurunan sebesar 11,91% menjadi US$15,86 miliar. Dilihat dari sisi penggunaan, peningkatan impor terjadi pada bahan baku atau penolong, serta barang modal.
”Nilai impor barang modal, sebagai andil utama peningkatan impor, mencapai US$23,00 miliar atau naik 20,90% dibandingkan periode yang sama tahun lalu," tutur Pudji. (E-3)