Menteri Keuangan Sri Mulyani menggelontorkan anggaran senilai Rp 599,44 triliun di 2026 untuk membayar bunga utang negara. Angka ini naik 8,6 persen dibanding outlook pembayaran bunga utang pada 2025.
“Dalam RAPBN tahun anggaran 2026 pembayaran bunga utang direncanakan sebesar Rp 599.440,9 miliar, naik 8,6 persen dari outlook pembayaran bunga utang pada tahun anggaran 2025,” kata Sri Mulyani dalam Buku Nota Keuangan II, Jumat (15/8).
Bendahara negara itu menjelaskan, bunga utang tahun depan masih didominasi oleh utang dalam negeri. Secara rinci, pembayaran bunga utang dalam negeri sebesar Rp 538.701,3 miliar dan pembayaran bunga utang luar negeri sebesar Rp 60.739,6 miliar.
Kenaikan pembayaran bunga utang ini sebenarnya melambat dibanding tahun sebelumnya. Menurut Sri Mulyani, pertumbuhan pembayaran bunga utang pada tahun anggaran 2026 tersebut lebih rendah apabila dibandingkan dengan pertumbuhan tahun anggaran 2025 yang sebesar 13,0 persen.
Adapun pembayaran bunga utang mencakup pembayaran kupon atas SBN, bunga atas pinjaman dan biaya lain yang timbul dalam rangka menjalankan program pengelolaan utang. Besaran pembayaran beban bunga mengalami fluktuasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal.
“Secara inheren, beban bunga utang terdampak risiko yang bersumber dari volatilitas nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan perubahan tingkat suku bunga,” ungkapnya.
Faktor lain yang turut mempengaruhi beban bunga adalah sentimen pasar atas instrumen surat berharga negara, volume kebutuhan pembiayaan anggaran, dan kondisi perekonomian terkini.
Sri Mulyani menyebut, pemerintah berkomitmen untuk menjaga pembayaran bunga utang pada level yang efisien dan terkendali. Melalui kebijakan pengelolaan utang yang prudent, terukur, dan berbasis manajemen risiko.
“Dalam merancang strategi pembiayaan, pemerintah selalu mempertimbangkan keseimbangan antara biaya utang dan tingkat risiko agar tidak membebani fiskal, baik dalam jangka pendek maupun panjang,” tegasnya.