barata nusantara
Guru Menulis | 2025-08-18 11:32:36
Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam salah satu pidatonya yang beredar di media sosial, yang menyinggung gaji guru dan dosen akan dievaluasi apakah tetap dibiayai negara atau perlu partisipasi masyarakat, menimbulkan kegaduhan sekaligus pertanyaan serius. Diksi yang digunakan seolah-olah menggambarkan bahwa selama ini pembiayaan gaji guru dan dosen sepenuhnya berasal dari negara, dan masyarakat belum ikut berkontribusi. Padahal, secara teori keuangan publik, uang negara yang dibelanjakan melalui APBN sebagian besar berasal dari pungutan pajak masyarakat. Artinya, sejak awal masyarakat sudah berpartisipasi dalam membiayai pendidikan, termasuk membayar gaji guru dan dosen.
Uang Negara = Pajak Masyarakat
Dalam teori public finance, pajak adalah bentuk kontrak sosial antara warga negara dan negara. Masyarakat menyerahkan sebagian penghasilannya melalui pajak agar negara menyediakan pelayanan publik, termasuk pendidikan. Jean-Jacques Rousseau menyebut konsep ini sebagai bentuk social contract, sementara Richard Musgrave dalam Theory of Public Finance menegaskan bahwa negara memiliki tiga fungsi utama: alokasi sumber daya, distribusi kesejahteraan, dan stabilisasi ekonomi. Gaji guru dan dosen jelas masuk dalam fungsi alokasi dan distribusi.
Data terbaru menunjukkan bahwa pada APBN 2025, penerimaan perpajakan diproyeksikan Rp 2.490,9 triliun dari total pendapatan negara Rp 3.005,1 triliun. Dengan demikian, lebih dari 80% APBN bersumber dari pajak. Fakta ini membuktikan bahwa pembiayaan pendidikan lewat APBN adalah partisipasi masyarakat yang sudah diwujudkan. Maka, pernyataan bahwa perlu ada partisipasi masyarakat tambahan dalam membiayai gaji guru berpotensi menyesatkan opini publik karena mengabaikan kontribusi masyarakat yang sudah besar.
Kondisi Pendidikan dan Guru di Indonesia
Persoalan yang lebih mendesak dalam pendidikan Indonesia bukanlah sumber pembiayaan, melainkan kualitas dan distribusi guru. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta BPS menunjukkan beberapa hal:
- Kekurangan Guru: Indonesia masih mengalami kekurangan guru hingga 1,3 juta pada 2024, terutama di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar).
- Kualifikasi Akademik: Lebih dari 249.000 guru belum memiliki pendidikan S1/D4, padahal Undang-Undang Guru dan Dosen mewajibkan minimal kualifikasi tersebut.
- Guru Non-ASN: Per Agustus 2024 masih terdapat 496.174 guru non-ASN di sekolah negeri, meski pemerintah sudah mengangkat 774.999 guru honorer menjadi ASN PPPK sejak 2020.
- Sertifikasi Guru Menurun: Jumlah guru bersertifikat turun dari 1,392 juta pada 2019 menjadi hanya 1,274 juta pada 2023.
- Kualitas Pendidikan: Hasil PISA 2022 menempatkan Indonesia pada posisi ke-69 dari 80 negara dalam literasi, numerasi, dan sains—cerminan mutu pendidikan yang masih rendah.
Data ini menunjukkan bahwa persoalan utama pendidikan Indonesia bukanlah soal siapa yang membiayai gaji guru, melainkan bagaimana memastikan guru memiliki kompetensi, kualifikasi, dan kesejahteraan yang memadai.
Kritik terhadap Dikotomi “Negara vs Masyarakat”
Pernyataan Sri Mulyani yang mempertanyakan apakah gaji guru dibiayai negara atau masyarakat mengandung kekeliruan logika fiskal. Negara membiayai pendidikan dengan dana yang berasal dari pajak masyarakat; sehingga negara dan masyarakat tidak bisa dipisahkan dalam hal ini.
Menghadirkan dikotomi tersebut sama saja dengan menegasikan prinsip dasar APBN: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Bahkan, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (4) menegaskan bahwa negara wajib mengalokasikan 20% APBN untuk pendidikan. Dengan demikian, pembiayaan pendidikan adalah kewajiban konstitusional negara yang dijalankan menggunakan uang rakyat, bukan kemurahan hati negara.
Apa yang Seharusnya Dilakukan Pemerintah
Alih-alih melempar wacana soal partisipasi masyarakat dalam membiayai guru, pemerintah semestinya berfokus pada tiga hal utama:
- Meningkatkan Kualitas Guru Program beasiswa dan percepatan studi bagi guru yang belum S1/D4.Pelatihan kompetensi berbasis teknologi untuk menghadapi era digital.
- Program beasiswa dan percepatan studi bagi guru yang belum S1/D4.
- Pelatihan kompetensi berbasis teknologi untuk menghadapi era digital.
- Memperkuat Kesejahteraan dan Status Guru Penyelesaian pengangkatan guru honorer ke dalam sistem ASN/PPPK.Perbaikan sistem sertifikasi agar insentif guru meningkat, bukan justru berkurang.
- Penyelesaian pengangkatan guru honorer ke dalam sistem ASN/PPPK.
- Perbaikan sistem sertifikasi agar insentif guru meningkat, bukan justru berkurang.
- Mengoptimalkan Belanja Pendidikan Alokasi APBN untuk pendidikan jangan terkuras pada infrastruktur saja, tetapi lebih proporsional pada pengembangan kapasitas guru.Perbaikan tata kelola agar dana BOS dan tunjangan guru tepat sasaran.
- Alokasi APBN untuk pendidikan jangan terkuras pada infrastruktur saja, tetapi lebih proporsional pada pengembangan kapasitas guru.
- Perbaikan tata kelola agar dana BOS dan tunjangan guru tepat sasaran.
Penutup
Masyarakat Indonesia telah berpartisipasi membiayai pendidikan melalui pajak yang menjadi tulang punggung APBN. Oleh sebab itu, pernyataan yang mengesankan bahwa pembiayaan gaji guru harus kembali ditopang oleh partisipasi masyarakat justru mengaburkan realitas bahwa partisipasi itu sudah ada dan berjalan. Yang seharusnya dilakukan pemerintah bukanlah mempertanyakan siapa yang menanggung gaji guru, tetapi bagaimana memastikan investasi publik dari pajak rakyat benar-benar meningkatkan kualitas guru dan mutu pendidikan nasional.
Pendidikan adalah hak warga negara dan kewajiban negara. Guru adalah ujung tombak pendidikan. Maka, APBN yang bersumber dari pajak rakyat semestinya digunakan sebaik-baiknya untuk meningkatkan kualitas guru, agar Indonesia mampu menghasilkan generasi yang cerdas, kritis, dan kompetitif di panggung global.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.