Mutiara putri nadhia maula
Edukasi | 2025-08-18 14:40:15
Oleh: Mutiara Putri Nadhia Maula Mahasiswa Keperawatan, Universitas Airlangga
TikTok awalnya hanya dipandang sebagai aplikasi hiburan dengan video singkat, velocity, dan tren yang bervariasi. Namun, kini menjelma menjadi ekosistem ekonomi baru yang sangat memengaruhi kehidupan Gen Z. Tidak hanya sebagai ruang ekspresi, TikTok telah menjadi sumber penghasilan yang memunculkan berbagai karier baru seperti influencer, reviewer, kreator edukasi, hingga reseller online.
Di linimasa TikTok, Kita bisa melihat bagaimana sebuah produk kecil mendadak viral hanya karena direview oleh seorang influencer. Mulai dari donat, dessert box, kopi susu literan, skincare, jajanan kiloan, hingga aksesoris murah meriah, semuanya bisa laris manis hanya berbekal rekomendasi singkat bahkan dari orang biasa sekalipun yang videonya berhasil FYP.
Bagi Gen Z, fenomena ini menghadirkan berbagai peluang. Mulai dari bisnis online TikTok Shop, TikTok Affiliate, hingga Endorsement. TikTok membuka pintu ekonomi kreatif baru yang lebih egaliter, siapa pun dapat berjualan, asalkan kontennya menarik dan FYP. Pemahaman algoritma kini menjadi kunci utama kesuksesan, menggantikan syarat modal besar seperti pada bisnis konvensional.
Di sisi ekonomi, Tiktok juga membuat pola persaingan yang ketat. Produk yang viral dapat laku keras dalam hitungan jam, tetapi begitu tren berganti, penjual bisa mengalami penurunan omzet. Kondisi ini membuat ekonomi digital di TikTok bersifat fluktuatif dan berisiko tinggi, sehingga Gen Z sebaiknya tidak hanya kreatif tetapi juga cerdas dalam strategi bisnis agar peluang ekonomi yang hadir lewat TikTok dapat benar-benar berkelanjutan.
Namun, di sisi lain, fenomena ini justru mendorong budaya konsumsi berlebihan. Akibatnya, banyak Gen Z terjebak dalam perilaku konsumtif dan krisis finansial kecil-kecilan. Barang- barang yang viral seakan wajib dimiliki Gen Z, meskipun tidak sesuai kebutuhan. Sehingga menjadi standar gaya hidup "estetik" yang menguras dompet Gen Z. Selain itu, Tidak semua orang bisa viral, algoritma tidak selalu adil sehingga berisiko menciptakan ekspektasi semu. Ketika kesuksesan hanya diukur dari dunia maya, banyak yang akhirnya merasa gagal atau insecure.
Dampak Psikologis bagi Gen Z
-Fear of Missing Out (FOMO): Takut tertinggal tren membuat Gen Z lebih sering mengeluarkan uang untuk membeli barang viral meskipun tidak terlalu dibutuhkan (perilaku konsumtif).
-Gangguan Fokus: Terlalu lama terjebak pada video singkat mengganggu produktivitas.
-Validasi sosial diukur dari likes, followers bahkan FYP, ketika tidak sesuai yang diharapkan seseorang akan merasa gagal atau insecure.
Sebagai mahasiswa Universitas Airlangga, saya melihat fenomena ini sebagai cermin dari perubahan sosial- ekonomi yang begitu cepat. Peran mahasiswa tidak cukup hanya menjadi konsumen tren tetapi juga harus hadir sebagai agen perubahan yang kritis. Penting bagi kita untuk memperkuat literasi digital agar tidak mudah terjebak algoritma, serta literasi finansial agar tidak larut dalam perilaku konsumtif serta dapat membedakan antara kebutuhan nyata dengan tren FOMO sesaat. TikTok sebaiknya dimanfaatkan sebagai ruang kreativitas, peluang bisnis, serta sarana edukasi, dengan tetap menjaga keseimbangan kesehatan mental dan kondisi finansial.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.