
Ketika berbicara tentang dana pensiun, kebanyakan orang memilih jalan yang dianggap paling aman. Maklum, dana tersebut menyangkut masa depan, saat kita ingin hidup tenang, bebas dari tekanan keuangan. Namun dalam dunia investasi, “terlalu aman” bisa menjadi risiko tersembunyi yang justru merugikan secara perlahan.
Statistik Dana Pensiun dari OJK pada 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 60% portofolio DPLK masih terkonsentrasi di instrumen konservatif seperti deposito, sertifikat deposito, dan Surat Berharga Negara (SBN). Pilihan investasi ini memang rendah risiko, tetapi juga menawarkan imbal hasil yang terbatas. Akibatnya, pertumbuhan nilai dana pensiun menjadi stagnan, bahkan tak mampu mengimbangi inflasi.
Penelitian kami terhadap data historis DPLK dari tahun 2015 hingga 2024 mengonfirmasi temuan tersebut. Alokasi dana yang tinggi ke instrumen konservatif terbukti berbanding terbalik dengan tingkat ROI (Return on Investment).
Sebaliknya, alokasi sebagian dana ke saham dan obligasi korporasi yang kerap dianggap berisiko, justru menunjukkan dampak positif terhadap pertumbuhan nilai dana. Temuan ini sejalan dengan kajian Novotny dan Valenta (2020) yang menekankan bahwa pendekatan berbasis lifecycle investment dapat meningkatkan kecukupan manfaat pensiun secara signifikan.
Sayangnya, banyak peserta DPLK tidak secara aktif menentukan arah investasinya. Mereka cenderung menerima opsi default yang disediakan pengelola DPLK. Di sinilah fenomena status quo bias muncul yakni kecenderungan mempertahankan pilihan yang sudah ada, meski ada alternatif yang secara rasional lebih baik. Dalam konteks pengambilan keputusan keuangan, bias ini sering kali diperkuat oleh loss aversion yaitu ketakutan terhadap kerugian yang lebih besar daripada harapan atas keuntungan. Kombinasi dua faktor ini membuat sebagian besar dana tetap berada di zona nyaman, walaupun tidak produktif secara jangka panjang.

Faktor lainnya adalah rendahnya tingkat literasi keuangan. Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan OJK tahun 2025 mencatat bahwa literasi keuangan Indonesia baru mencapai 66,46%. Pemahaman yang rendah ini membuat peserta kesulitan dalam menilai risiko, memilih instrumen, hingga menyusun rencana investasi pensiun yang efektif. Penelitian Lusardi dan Mitchell (2014) menegaskan bahwa pemahaman keuangan memiliki korelasi positif terhadap pengambilan keputusan investasi yang lebih bijak. TIAA Institute (2023) bahkan menambahkan bahwa literasi soal harapan hidup (longevity literacy) juga menjadi faktor penting dalam kesiapan pensiun jangka panjang.
Dalam jangka panjang, rasa aman yang berlebihan bisa menjadi jebakan. Seperti yang diungkap oleh TIAA Institute (2023) bahwa “Ketakutan mengambil risiko justru bisa jadi risiko paling berbahaya.” Kutipan tersebut menggambarkan dengan tepat bagaimana keputusan pasif bisa menggerus nilai dana pensiun, tanpa disadari.
Sejumlah negara kini mengadopsi strategi investasi berbasis usia, seperti glide path, di mana komposisi aset diubah bertahap sesuai tahap kehidupan peserta. Strategi ini membantu menjaga keseimbangan antara risiko dan pertumbuhan dana, terutama dalam sistem pensiun berbasis kontribusi. Pendekatan seperti ini terbukti efektif dalam menjawab tantangan kebutuhan masa tua yang semakin kompleks (Novotny & Valenta, 2020).
Di samping itu, desain ulang terhadap opsi default serta penyuluhan keuangan berbasis perilaku menjadi hal penting yang harus dikembangkan. Karena pada akhirnya, masa pensiun yang aman bukan hanya tentang menghindari risiko, tetapi juga tentang menyusun strategi yang cerdas, adaptif, dan berkelanjutan.