
Peran pengembangan pembangkit listrik di Indonesia sangat vital untuk mendukung industrialisasi. Apalagi saat ini Indonesia masih termasuk dalam negara berpenghasilan menengah ke bawah.
Guru Besar Fakultas Teknik Nuklir dan Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada (UGM), Andang Widi Harto, mengatakan struktur ekonomi Indonesia masih didominasi industri level 1 yang berbasis sumber daya alam dan bahan mentah.
Imbas dari nilai tambah ekonomi yang terbatas, kata dia, Indonesia berpotensi terjebak dalam 'middle income trap'. Hal ini salah satunya disebabkan konsumsi energi yang relatif rendah dan penggunaan sumber daya fosil masih dominan.
"Energi itu harus masif, kontinyu, dan terjangkau. Jadi industri itu perlu energi yang cukup masif makanya kita perlu sejumlah besar energi," katanya saat Forum Group Discussion (FGD) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kamis (31/7).
Untuk menyokong perkembangan industri ke depan, lanjut Andang, energi yang dibutuhkan harus terjangkau dan tidak bersifat fluktuatif, alias harus bisa menjadi penopang beban dasar (baseload).
Namun di tengah persoalan pemanasan global, maka pembangkit yang diutamakan adalah berbasis energi baru terbarukan (EBT). Pembangkit EBT baseload yang sudah dikembangkan di Indonesia di antaranya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
Hanya saja, Andang menilai PLTP dan PLTA tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan industri secara jangka panjang. Maka dari itu, dia menyebut Indonesia membutuhkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
"Kalau kita bicara tentang sumber daya alternatif, sebenarnya ada juga renewable energi yang juga bisa masif kontinyu, yaitu hidro dan geothermal. Tetapi kalau untuk di masa depan, hidro dan geothermal kita itu nanti akan tidak mencukupi," tegas Andang.
"Artinya kalau itu dimaksimalkan, kemudian hidro dimaksimalkan, kemudian geothermal dimaksimalkan, itu masih belum mencukupi untuk kebutuhan proses yang nanti ke depan," imbuhnya.

Sementara jika Indonesia ingin mengandalkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) maupun Pembangkit Tenaga Listrik Angin (PLTB), Andang menyebut listrik yang dihasilkan tidak akan kompetitif, selain karena fluktuatif juga tidak terjangkau.
"Energi yang masif dan kontinyu tentunya tidak lain adalah nuklir. Jadi nuklir nanti akan digunakan. Nuklir juga telah terbukti mampu membangkitkan energi dengan biaya terjangkau," ungkap Andang.
Dari data yang ditampilkan Andang terkait Levelized Cost of Electricity (LCOE) di beberapa negara, terlihat bahwa harga listrik PLTN jauh lebih murah daripada PLTG gas alam dan PLTU.
Misalnya di Jepang, harga listrik dari PLTN sebesar USD 61,2 per MWh lebih mahal dari PLTU yang sebesar USD 87,6 per MWh, sementara di Korea Selatan hanya sekitar USD 39,4 per MWh dan PLTU seharga USD 69,8 per MWh.
"Nuklir itu bersaing di situ, bahkan kebanyakan itu lebih rendah dibanding batu bara dan gas walaupun di beberapa negara itu bisa sedikit lebih tinggi tetapi masih bisa masuk," jelas Andang.