
Seorang pembelot Korut, Choi Min-kyung, menggugat Pemimpin Tertinggi Kim Jong-un dan 4 pejabat lainnya atas penyiksaan dan pelecehan seksual yang dialaminya selama ditahan di sana. Ia ditahan selama 5 bulan di berbagai lokasi, bahkan menderita PTSD parah dan masih bergantung pada pengobatan.
Meski Choi menjadi orang pertama yang menggugat rezim Korut, cerita serupa seperti yang dia alami ada banyak.
Dikutip dari Yonhap, Jumat (11/7), warga yang ketahuan menonton atau mendistribusikan drama Korsel (drakor) bisa dihukum mati. Seorang pembelot Korut, Kim Il-hyuk, mengungkapkan pernah melihat orang yang dia kenal ditembak mati karena mendistribusikan drakor hingga musik K-Pop.
"Seorang laki-laki berusia 22 tahun, yang saya kenal, dieksekusi oleh regu tembak di publik karena mendistribusikan 3 drakor dan 77 lagu K-Pop," kata Kim saat mengungkapkan kisahnya di Kantor HAM PBB, Seoul, 25 Juni 2025.
Pembelot Korut lainnya yang tidak ingin disebutkan namanya menyebut rezim Korut menganggap Korean Wave sebagai ancaman terhadap negara.

"Korut mulai menerapkan hukuman semacam itu [eksekusi mati], memandang drama Korsel sama berbahayanya seperti narkoba. Rezim melihat hal-hal itu sebagai ancaman, karena Korean Wave telah memberikan dampak yang cukup besar terhadap masyarakat Korut," ungkapnya, dikutip dari The Korea Herald.
Beberapa bulan sebelumnya, dalam forum yang digelar oleh Kementerian Unifikasi di Seoul, pembelot Korut lainnya mengungkapkan sulit untuk mandi saat masih hidup di negara yang terisolasi itu.
"Saya memakai riasan wajah dan berpergian di Korsel, tapi teman-teman saya di Korut bahkan tidak bisa mandi maupun memakai riasan wajah. Sejumlah teman saya bau karena mereka tidak bisa mandi, tapi kami hidup memahami satu sama lain," kata Noh Jin-hae.
Noh yang membelot dari Korut pada 2019 mengungkapkan meski keluarganya di Korut hidup berkecukupan berkat ayahnya, tapi mandi merupakan sebuah kemewahan. Keluarganya harus berbagi air yang diambil dari luar hanya untuk mandi.
"Sepulang sekolah, beberapa teman akan pergi ke gunung untuk mengumpulkan tanaman atau menjualnya," ujarnya.
Tak hanya itu, Noh juga mengungkapkan para siswa di Korut dipaksa membersihkan patung Kim Il-sung meski cuaca sangat dingin.

Masih Dicap Negatif karena Status 'Pembelot' Korut
Sementara itu, hampir 60% pembelot Korut meyakini perlunya mengubah terminologi resmi yang menyebut mereka 'pembelot Korut'. Hal ini terungkap dari survei yang dilakukan Institut Korea untuk Unifikasi Nasional (KINU).
Dalam survei yang dipublikasikan pada Juli 2024, KINU melaporkan bahwa 58,9% dari 505 pembelot Korut berusia antara 18 tahun ke atas yakin istilah tersebut harus diubah. Sementara 28,9% menilai istilah itu tak perlu diubah, dan 12.2% sisanya masih belum memutuskan.
Saat ditanya alasan mengubah istilah tersebut, 62,1% menyebut istilah itu menimbulkan kebingungan dan perspektif negatif. 19% lainnya menilai perubahan istilah seharusnya tidak hanya mencakup pada mereka yang datang dari Korut ke Korsel, tapi juga keluarga dan anak-anak mereka.