TUNJANGAN perumahan bagi anggota DPR sebesar sekitar Rp 50 juta per bulan memicu berbagai kritik dari publik. Besaran itu disebut sebagai kompensasi atas rumah jabatan yang tak lagi ditempati, namun banyak yang menilai jumlahnya terlalu besar dibanding kondisi ekonomi masyarakat.
Menanggapi hal tersebut, Ketua DPR Puan Maharani menyatakan tunjangan itu telah melalui proses kajian dan menegaskan bahwa kebijakan tersebut bukan bentuk kenaikan gaji. Namun, pihaknya akan mencermati masukan masyarakat dan mengevaluasi bila dianggap berlebihan.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Angka Rp 50 juta per bulan itu muncul sebagai pengganti fasilitas rumah dinas anggota DPR yang kini tidak lagi dapat ditempati. Kebijakan ini diputuskan melalui mekanisme internal DPR dan ditujukan sebagai kompensasi bagi wakil rakyat, terutama yang berdomisili di luar Jakarta. Ketua DPR Puan Maharani menegaskan bahwa perubahan tersebut bukan kenaikan gaji, melainkan peralihan bentuk fasilitas.
"Nggak ada kenaikan (gaji), hanya sekarang DPR sudah tidak mendapatkan rumah jabatan, namun diganti dengan kompensasi uang rumah. Itu saja karena rumahnya sudah dikembalikan ke pemerintah. Itu saja," ujar Puan Maharani dikutip dari Antara, 17 Agustus 2025.
Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar menjelaskan bahwa sejak Oktober 2024, fasilitas rumah jabatan dialihkan menjadi tunjangan rumah senilai Rp 50 juta per bulan. Tunjangan ini masuk dalam komponen gaji bulanan anggota DPR sehingga pendapatan mereka meningkat secara keseluruhan. Menurut Indra, rumah jabatan di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, sudah tidak layak huni dan tidak ekonomis untuk dipertahankan. Biaya pemeliharaan disebut tidak lagi sepadan dengan kondisi fisiknya yang kerap bermasalah.
"Kami banyak menerima keluhan dari anggota DPR terkait dengan bangunan yang sudah berusia tua dan sering mengalami kerusakan yang cukup parah, terutama bocoran dan air hujan dari sungai yang melintasi tengah-tengah perumahan juga," kata Indra.
Kebijakan ini mulai berlaku untuk anggota DPR periode 2024–2029 sejak pelantikan pada 1 Oktober 2024. Uang kompensasi perumahan ini resmi menggantikan fasilitas Rumah Jabatan Anggota (RJA) yang sebelumnya ditempati wakil rakyat di kompleks Kalibata. Patokan atau benchmark yang digunakan adalah besaran tunjangan bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jakarta, yang dijadikan acuan dalam perhitungan.
Berdasarkan Surat Sekretariat Jenderal DPR Nomor B/733/RT.01/09/2024 tertanggal 25 September 2024, keputusan tersebut diambil dalam Rapat Pimpinan DPR, Pimpinan Fraksi-Fraksi, dan Sekretariat Jenderal DPR pada 24 September 2024. Surat itu menyatakan tiga poin penting:
- Anggota DPR RI periode 2024–2029 diberikan Tunjangan Perumahan dan tidak diberikan fasilitas RJA.
- Pemberian tunjangan berlaku sejak anggota DPR dilantik.
- Anggota DPR periode 2019–2024, baik yang terpilih kembali maupun tidak, wajib menyerahkan rumah jabatan paling lambat 30 September 2024 beserta daftar barang inventarisnya.
Kritik Kebijakan Tunjangan Perumahan Rp 50 Juta
Kebijakan tunjangan perumahan DPR sebesar Rp50 juta per bulan menuai kritik luas karena dianggap terlalu tinggi dibanding kondisi ekonomi rakyat.
Banyak pihak menilai dana tersebut seharusnya bisa dialokasikan untuk kepentingan masyarakat yang lebih membutuhkan, seperti program perumahan rakyat. Masyarakat pun sepakat bahwa besaran tunjangan ini kurang sesuai dengan situasi ekonomi yang sedang dihadapi.
Argumen DPR
DPR menyatakan besaran tunjangan perumahan Rp 50 juta per bulan untuk anggota DPR ditetapkan dengan mempertimbangkan harga tanah dan properti di Jakarta, serta mobilitas 580 anggota dari 38 provinsi, dan menurut Puan Maharani angka itu telah melalui proses kajian.
"Itu sudah dikaji dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kondisi ataupun harga yang ada di Jakarta karena kan kantornya ada di Jakarta," ucap Puan.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar menegaskan bahwa tunjangan perumahan bersifat lump sum, sehingga sekretariat parlemen tidak memerlukan pertanggungjawaban rinci dari legislator terkait penggunaan tunjangan tersebut.
Beberapa anggota DPR menjelaskan bagaimana mereka memanfaatkan tunjangan itu. Oleh Soleh, anggota Komisi I, menyebut ia menggunakan tunjangan perumahan untuk menyewa rumah di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur. Ia memilih lokasi ini karena nominal Rp50 juta untuk sewa rumah di Jakarta hanya cukup untuk kelas standar.
Menurutnya, tunjangan perumahan bermanfaat terutama bagi legislator yang berasal dari daerah pemilihan di luar Jakarta. Namun, ia juga menekankan perlunya rasionalisasi besaran tunjangan tersebut, mengingat biaya hidup di ibu kota yang tinggi.
Berbeda dengan beberapa anggota DPR yang menggunakan tunjangan perumahan untuk menyewa rumah, Tifatul Sembiring, anggota Komisi VII DPR, memilih memanfaatkan uang tunjangan senilai Rp50 juta untuk menyewa hotel dekat gedung Parlemen Senayan saat ada kegiatan pagi. Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini tidak menyewa rumah di Jakarta karena harus menemani keluarganya yang tinggal di Depok, Jawa Barat. Menurut Tifatul, cara pemanfaatan tunjangan perumahan diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing anggota DPR, sehingga fleksibilitas penggunaan tetap terjaga.
Meskipun begitu, Puan Maharani menegaskan bahwa pimpinan DPR terus memperhatikan aspirasi masyarakat dan mendorong publik untuk mengawasi kinerja anggota Dewan.
"Tolong selalu awasi kinerja dari kami di DPR. Kalau kemudian ada hal-hal yang memang dianggap masih belum sempurna, masih terlalu berlebihan, tentu saja kami akan mengevaluasi hal tersebut," seperti dikutip dari Antara, Ahad lalu.
Puan menekankan bahwa pihaknya akan tetap mencermati masukan masyarakat terkait tunjangan rumah senilai Rp 50 juta per bulan bagi anggota DPR RI, sebagai bagian dari upaya transparansi dan respons terhadap opini publik.