Demokrasi di Balik Simbol

3 hours ago 1
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
Demokrasi di Balik Simbol (Dokpri)

PERAYAAN HUT ke-80 RI menyuguhkan panggung politik yang lebih teatrikal daripada substansial. Ketika Presiden Prabowo Subianto baru membacakan teks Proklamasi dan tokoh lama memilih absen, muncul pertanyaan mendasar: apakah demokrasi kita masih berpijak pada etika, solidaritas, dan semangat pembebasan? Tulisan ini menelusuri dinamika politik Indonesia melalui lensa tiga filsuf Islam: Al-Farabi, Ibn Khaldun, dan Ali Shariati.

Simbolisme kenegaraan dan politik identitas

Upacara HUT ke-80 RI di Istana Negara bukan hanya seremoni, melainkan panggung simbolik yang mencerminkan arah politik nasional. Ketika Presiden Prabowo Subianto membacakan teks Proklamasi untuk pertama kalinya, publik menyaksikan pergeseran simbolik dari era Jokowi ke era Prabowo. Ini bukan hanya soal siapa yang membaca teks, tetapi tentang siapa yang kini memegang kendali narasi kebangsaan.

Ketidakhadiran Megawati Soekarnoputri dalam upacara tersebut memunculkan spekulasi politik internal PDIP. Dalam politik Indonesia, absensi tokoh besar dalam momen kenegaraan sering kali dibaca sebagai bentuk protes diam, atau penegasan posisi politik. Ini menunjukkan bahwa politik identitas dan loyalitas partai masih menjadi elemen dominan dalam demokrasi kita.

Al-Farabi (872-950 M) dalam Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah (dicetak dan dipublikasikan pertama kali tahun 1906), membayangkan negara ideal sebagai al-Madinah al-Fadhilah (Kota Utama). Menurut Al-Farabi, pemimpin adalah sosok yang bijak, filosof, dan memiliki tujuan moral untuk membimbing rakyat menuju kebahagiaan sejati. 

Dalam konteks HUT RI ke-80, pembacaan teks Proklamasi oleh Presiden Prabowo bisa dianalisis sebagai simbol transisi kepemimpinan. Namun, menurut Al-Farabi, simbolisme harus diiringi dengan etika kepemimpinan dan visi moral. Ketidakhadiran tokoh seperti Megawati menunjukkan kegagalan elite politik dalam membangun konsensus etis demi kebaikan bersama (bonum commune). “Negara yang sempurna adalah yang dipimpin oleh seorang filosof, yang mengetahui kebenaran dan mampu membimbing rakyat menuju kebahagiaan sejati. Kepemimpinan bukan hanya kekuasaan, melainkan tanggung jawab moral untuk menciptakan tatanan yang adil dan berakal.”

Lebih lanjut, Ali Shariati (1933-1977 M) dalam On the Sociology of Islam (1980), menjelaskan Islam bukan hanya sebagai agama ritual, tetapi sebagai kekuatan pembebasan sosial. Ia mengkritik elite agama dan politik yang menjadikan agama sebagai alat kekuasaan, bukan sebagai sarana emansipasi rakyat. Dalam konteks Indonesia hari ini, di mana agama sering dijadikan alat mobilisasi politik, Shariati mengingatkan bahwa partisipasi publik harus dibebaskan dari manipulasi simbolik.

Katika mengembangkan gagasan tentang Islam sebagai gerakan pembebasan, Shariati menggabungkan teologi Islam dengan teori perjuangan sosial dan antikolonialisme. Menurutnya, “Tauhid adalah penolakan terhadap semua bentuk tuhan palsu, yaitu penindasan, ketidakadilan, dan eksploitasi manusia oleh manusia.” Tauhid bagi Shariati, bukan hanya doktrin teologis, tetapi juga prinsip sosial-politik yang menolak segala bentuk penindasan dan ketidakadilan.

Polarisasi dan fragmentasi elite politik

Pasca pemilu, lanskap politik Indonesia menunjukkan gejala fragmentasi elite. PSI di bawah Kaesang Pangarep aktif menggelar doa bersama dan kampanye dukungan terhadap pemerintahan Prabowo, memperlihatkan upaya membangun legitimasi politik baru. Di sisi lain, partai-partai lama seperti PDIP tampak sedang melakukan konsolidasi internal, mungkin untuk merumuskan ulang strategi oposisi. Fenomena ini menunjukkan, bahwa demokrasi Indonesia sedang mengalami transisi dari politik patronase ke politik performatif, di mana citra publik dan narasi media menjadi alat utama dalam membentuk persepsi politik.

Ibn Khaldun (1332-1406 M) dalam Al-Muqaddimah atau Prolegomena (1377), menekankan pentingnya ‘asabiyyah (solidaritas kelompok) dalam membentuk dan mempertahankan kekuasaan. Ia mengkritik siklus kekuasaan yang cenderung korup setelah mencapai puncak kejayaan. Fragmentasi elite politik pasca pemilu dan munculnya partai-partai baru, menunjukkan pergeseran ‘asabiyyah politik. 

Dia berpandangan, bahwa jika solidaritas ini tidak dibangun atas dasar nilai dan visi kebangsaan, maka kekuasaan akan mengalami dekadensi. Baginya, urgensitas dari asabiyyah atau solidaritas adalah hal yang tak terelakkan. Sebab, “asabiyyah adalah kekuatan pendorong utama di balik kebangkitan dan kejatuhan peradaban - ketika solidaritas melemah, kekuasaan pun akan runtuh.” Menurut Khaldun, tanpa solidaritas sosial yang kuat, kekuasaan tidak hanya akan kehilangan imunitasnya, tetapi juga legitimasinya.

Kritik terhadap oligarki dan partisipasi publik

Isu revisi UU Pilkada yang ditolak oleh komika dan aktivis menunjukkan bahwa masyarakat sipil mulai aktif mengawasi proses legislasi. Demonstrasi di depan DPR oleh figur publik menandakan, bahwa ruang partisipasi publik tidak lagi terbatas pada aktivis politik, tetapi juga merambah ke dunia seni dan budaya.

Ini adalah sinyal positif bagi demokrasi deliberatif, dimana suara rakyat tidak hanya hadir dalam bilik suara, tetapi juga dalam ruang publik dan wacana kritis. Dengan merujuk kepada ‘asabiyyah versi Ibn Khaldun, demonstrasi publik menolak revisi UU Pilkada, merupakan bentuk resistensi terhadap kekuasaan yang dianggap mulai menjauh dari solidaritas rakyat. Sementara dalam bacaan Shariati, demonstrasi oleh komika dan aktivis adalah bentuk pembebasan wacana dari dominasi elite, dan bahwa hal itu sejalan dengan semangat Islam sebagai gerakan rakyat.

Edukasi politik dan tantangan literasi demokrasi

Dinamika politik pasca HUT RI ke-80 juga mengungkap tantangan literasi politik masyarakat. Banyak warga belum memahami implikasi dari revisi UU Pilkada, atau absensi tokoh politik dalam acara kenegaraan. Di sinilah pentingnya edukasi politik yang berbasis pada nilai-nilai kebangsaan, bukan hanya retorika partisan. Pendidikan politik dalam hal ini, harus mampu menjembatani antara simbolisme kenegaraan dan realitas sosial, agar rakyat tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga aktor dalam demokrasi.

HUT ke-80 RI bukan hanya perayaan sejarah, tetapi juga momentum refleksi tentang kiblat politik bangsa. Apakah kita sedang menuju demokrasi yang lebih inklusif, atau justru kembali ke politik oligarki yang terselubung? Jawabannya tergantung pada sejauh mana rakyat mampu mengartikulasikan aspirasinya dan elite politik bersedia mendengarkan. Pada titik ini, pemikiran dari ketiga filsuf mendapatkan relevansinya. Simbolisme politik harus diiringi dengan etika dan visi moral (Al-Farabi); solidaritas sosial harus menjadi fondasi kekuasaan, bukan hanya aliansi pragmatis (Ibn Khaldun); dan partisipasi publik harus dibebaskan dari manipulasi elite dan diarahkan pada emansipasi sosial (Shariati).

Akhirul Kalam

HUT ke-80 RI bukan hanya perayaan sejarah, tetapi juga cermin besar bagi demokrasi kita. Al-Farabi mengingatkan, bahwa negara ideal dibangun di atas visi moral dan kepemimpinan bijak. Ibn Khaldun menegaskan pentingnya solidaritas sosial sebagai fondasi kekuasaan. Shariati menyerukan pembebasan rakyat dari manipulasi elite. Jika demokrasi ingin tetap hidup dan bermakna, ia harus berpijak pada etika, solidaritas, dan emansipasi. Tanpa itu, kita hanya akan terus merayakan kemerdekaan dalam bentuk, tapi kehilangan maknanya dalam praktik.

Read Entire Article