
POLDA Metro Jaya mengungkap alasan penangkapam Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi menjelaskan Delpedro ditangkap karena diduga memprovokasi pelajar bahkan anak di bawah umur untuk melakukan aksi anarkistis pada demo di sekitar Gedung DPR/MPR RI.
Ia menegaskan Delpedro ditetapkan sebagai tersangka sebelum dilakukan penangkapan. Delpedro diduga melanggar Pasal 160 KUHP, Pasal 45A Ayat 3 Juncto Pasal 28 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang ITE, hingga Pasal 76H Jo Pasal 15 Jo Pasal 87 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
“Saudara DMR diduga melakukan tindak pidana menghasut untuk melakukan pidana dan atau menyebarkan informasi elektronik yang diketahuinya membuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan dan keresahan di masyarakat dan atau merekrut dan memperalat anak dan membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa," kata Ade Ary, melalui keterangannya, Selasa (2/9).
Ade Ary mengatakan proses penyidikan dilakukan secara hati-hati dan profesional sesuai prosedur. Saat ini, tim penyidik masih mendalami detail ajakan provokatif yang diduga disebar Delpedro melalui akun media sosial.
“Upaya yang dilakukan oleh penyidik itu senantiasa tunduk dan patuh pada SOP (standar operasional prosedur) Dan peraturan perundang-undangan yang berlaku," katanya.
Sebelumnya, Delpedro Marhaen ditangkap oleh aparat kepolisian Daerah Metro Jaya pada Senin (1/9) malam sekitar pukul 22.45 WIB. Dia dituduh melakukan tindak pidana penghasutan. Berdasarkan keterangan resmi Lokataru, sekitar tujuh atau delapan polisi dari Sub Direktorat Keamanan Negara Polda Metro Jaya (PMJ) menjemput paksa Delpedro pada malam hari di kantor Lokataru Foundation yang beralamat di Jl. Kunci Nomor 16, Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulo Gadung, Kota Jakarta Timur.
“Hal ini yang mengindikasikan adanya tindakan penjemputan paksa di luar jam kerja normal dan di tempat kediaman/perkantoran,” demikian bunyi keterangan resmi Lokataru yang diterima Media Indonesia, pada Selasa (2/9).
Saat penjemputan tersebut, Delpedro menanyakan legalitas surat penangkapan serta pasal-pasal yang dituduhkan, akan tetapi pihak kepolisian dinilai tidak bisa menunjukkan adanya ketidakjelasan atau minimnya informasi awal terkait prosedur hukum yang berlaku, termasuk surat penangkapan.
Saat ini, Delpedro telah meminta untuk didampingi Kuasa Hukum/Penasihat Hukum mengingat pasal-pasal yang dituduhkan belum dipahami sepenuhnya, sebagai bentuk upaya pembelaan diri dan perlindungan terhadap martabat kemanusiaannya (human dignity).
"Namun demikian, pihak kepolisian menyatakan bahwa surat tugas yang dibawa telah menginstruksikan untuk melakukan penangkapan dan penggeledahan badan serta barang,” ujar keterangan Lokataru.
Saat terjadi perdebatan terkait administrasi penangkapan dan pasal-pasal yang dituduhkan, pihak kepolisian kemudian menyarankan Delpedro untuk mengganti pakaian, dengan janji penjelasan terkait surat penangkapan dan pasal yang dituduhkan akan diberikan di kantor Polda Metro Jaya, serta akan didampingi Kuasa Hukum dari Delpedro Marhaen.
Akan tetapi, saat Delpedro Marhaen mengganti pakaian di ruang kerjanya, ia diikuti oleh kurang lebih tiga anggota kepolisian dengan intonasi yang mengarah pada intimidasi. Selain itu, hak konstitusional dan hak asasi manusia Delpedro Marhaen dibatasi meskipun belum ada penetapan status tersangka dan penjelasan pasal, termasuk larangan menggunakan telepon untuk menghubungi pihak manapun dan perintah langsung menuju kantor Polda Metro Jaya.
Atas dasar itu, Lokataru menilai tindakan intimidasi, pembatasan hak konstitusional, dan pengabaian prinsip-prinsip HAM terlihat nyata dan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran prosedur hukum dan hak asasi. Lokataru menegaskan bahwa Polda Metro Jaya melakukan penggeledahan tanpa disertai surat perintah penggeledahan sebagaimana diatur dalam ketentuan hukum yang berlaku.
“Saat melakukan aksi tersebut, petugas memasuki lantai 2 kantor secara tidak sopan dan melakukan penggeledahan, serta merusak dan menonaktifkan CCTV kantor yang berpotensi menghilangkan bukti dan menimbulkan kerugian hukum,” urai keterangan Lokataru. (Faj/I-1)