
Perang Kamboja dan Thailand kembali pecah dilandasi sengketa perbatasan wilayah berkepanjangan antar kedua pihak. Kondisi ini sejatinya merepresentasikan kerentanan dan besarnya potensi instabilitas di kawasan Asia Tenggara.
Sementara itu, peran ASEAN masih sangat terbatas dan memiliki kedudukan yang lemah dalam upaya penyelesaian konflik sengekata perbatasan dan permasalahan regional lainnya. Maka dari itu, sudah saatnya untuk secara serius memikirkan perlunya revitalisasi terhadap norma, aturan, dan mekanisme ASEAN sebagai organisasi sentral di kawasan.
Melalui transformasi yang dilakukan, ASEAN diharapkan dapat berperan penting dalam menyelesaikan permasalahan sengketa perbatasan wilayah dan berbagai problematika kompleks lainnya yang tengah dihadapi negara dan masyarakat Asia Tenggara.
Konflik Sengketa Batas Wilayah Kamboja dan Thailand

Titik utama sengketa perbatasan Kamboja dan Thailand terjadi di sepanjang 818 km garis perbatasan yang didasari adanya perbedaan interpretasi terhadap perjanjian demarkasi Pemerintah Kolonial Prancis dan Kerajaan Thailand pada tahun 1907. Permasalahan sengketa perbatasan wilayah yang tidak kunjung terselesaikan menjadi akar dari perseteruan diplomatik dan serangkaian kontak senjata yang kerap terjadi antara Kamboja dan Thailand.
Sebelum ini, konflik terbesar terjadi antara kedua pihak terjadi pada tahun 2008-2011 yang mengakibatkan puluhan korban jiwa dan pengungsian masyarakat sipil di area perbatasan. Eskalasi konflik terjadi diawali keputusan Kamboja mendaftarkan kompleks Preah Vihear, yang merupakan titik utama sengketa, sebagai situs warisan dunia UNESCO. Secara sepihak, pihak Kamboja juga mengajukan penyelesaian kasus sengketa batas wilayahnya dengan Thailand ke International Court of Justice (ICJ).
Hal ini menimbulkan perseteruan diplomatik intens antara Kamboja dan Thailand yang berujung konflik persenjataan di beberapa titik di kawasan perbatasan. Konflik baru mulai mereda seiring keputusan ICJ yang memenangkan pihak Kamboja, meskipun demikian Thailand tidak pernah mengakui putusan tersebut dan kerap melakukan aktivitas militer di kawasan sengketa.
Konflik yang kembali pecah saat ini berawal dari adanya peningkatan aktivitas militer Kamboja di daerah perbatasan dalam beberapa bulan terakhir. Hal ini kemudian memicu ketegangan di sekitar area perbatasan yang berujung pada terjadinya kontak persenjataan secara langsung antara kedua pihak.
Merespons kejadian tersebut, Thailand melancarkan serangan udara yang menyasar beberapa pangkalan militer strategis Kamboja yang berada di daerah perbatasan. Sebagai balasan, gempuran roket dan kombinasi serangan darat dilakukan militer Kamboja yang menargetkan fasilitas militer dan kawasan masyarakat sipil Thailand di sekitar garis perbatasan wilayah.
Tercatat hingga saat ini, konflik bersenjata antara Kamboja dan Thailand telah memakan puluhan korban jiwa dan menyebabkan ratusan orang terluka baik dari kalangan militer maupun masyarakat sipil. Kedua pihak telah melakukan proses diplomasi penyelesaian konflik, meskipun demikian hasilnya tidak sepenuhnya menyelesaikan sengketa perbatasan wilayah yang menjadi akar dari hubungan konfliktual antara Kamboja dan Thailand selama ini.
Potensi Instabilitas di Kawasan Asia Tenggara

Pecahnya perang Kamboja dan Thailand menambah daftar persoalan pelik yang tengah dihadapi kawasan Asia Tenggara. Tindakan genosida yang dilakukan pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya dan kelompok minoritas lainnya telah mengakibatkan pengungsian dalam jumlah besar serta menghadirkan serangkaian persoalan sosial-politik dan ekonomi di kawasan. Begitu pula, belum ada langkah regional konkret yang dilakukan guna menyelesaikan perang saudara yang terjadi di Myanmar pasca penggulingan pemerintahan demokratis oleh kelompok militer.
Upaya penyelesaian terhadap sengketa batas wilayah maritim di Laut Cina Selatan hingga saat ini juga belum membuahkan hasil. Di tengah peningkatan aktivitas maritim Cina di Laut Cina Selatan, negara-negara Asia Tenggara justru gagal dalam mencapai konsensus regional dalam menciptakan tindakan strategis dalam membendung unilateralitas Cina di Laut Cina Selatan. Keadaan ini ditambah dengan fakta bahwa sebagian besar persoalan sengketa batas wilayah darat dan laut yang melibatkan negara-negara di kawasan juga masih belum dapat terselesaikan.
Apabila dibiarkan tanpa adanya solusi, bukan tidak mungkin eskalasi konflik dan perang kembali terjadi seiring meningkatnya sentimen nasionalisme antar negara-negara di kawasan.
Berbagai persoalan tersebut belum termasuk eksistensi berbagai kejahatan kriminal transnasional dan terorisme di kawasan Asia Tenggara. Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan aktivitas kejahatan kriminal meliputi perdagangan manusia meliputi perdagangan manusia, narkoba, dan jenis barang ilegal lainnya yang melibatkan relasi antar sindikat pelaku dan konsumen yang berada di negara-negara kawasan Asia Tenggara.
Sementara itu, pendudukan Kota Marawi di Filipina oleh kelompok separatis dan terorisme pada tahun 2017, diikuti dengan berbagai peristiwa pengeboman dan serangan di beberapa negara lainnya juga memperlihatkan bahwa keberadaan kelompok separatis dan teroris masih menghadirkan ancaman besar yang tidak dapat diabaikan pemerintah negara dan masyarakat Asia Tenggara.
Untuk saat ini, serangkaian persoalan tersebut memang belum mendatangkan implikasi yang besar. Namun, berkaca pada besarnya potensi ancaman yang ada, tanpa adanya perhatian dan kerangka tindakan regional strategis yang menyasar akar persoalan, bukan tidak mungkin ke depannya Asia Tenggara justru berkembang menjadi kawasan yang tidak stabil dan konfliktual.
Urgensi Revitalisasi terhadap ASEAN

Sebagai organisasi regional utama di Asia Tenggara dan Pasifik, ASEAN sejatinya berada pada posisi yang sentral. Sejak awal masa pendiriannya, organisasi ini diharapkan dapat menjadi wadah kerja sama komprehensif bagi negara-negara di kawasan. Terdapat pula optimisme bahwa ASEAN mampu menjadi kerangka institusi supranasional yang secara efektif mengatur relasi politik, keamanan, dan ekonomi intra-regional maupun ekstra-regional.
Akan tetapi, beberapa fakta yang terjadi justru memperlihatkan situasi sebaliknya yang mana ASEAN gagal dalam mengambil peran dalam mengatasi persoalan regional. Misalnya dalam konteks sengketa perbatasan wilayah antar negara di kawasan, selain sebatas menyediakan forum dialog bagi negara yang bersengketa, praktis tidak ada peran aktif dan solusi yang ditawarkan ASEAN.
Seperti halnya yang terjadi saat ini, ASEAN terlihat malfungsi menghadapi ancaman klaim kedaulatan laut Cina atas Laut Cina Selatan dan konflik bersenjata di perbatasan Kamboja dan Thailand. Minimnya peran ASEAN juga terjadi menyangkut persoalan krisis kemanusiaan Rohingya, perang saudara Myanmar, dan berbagai bentuk ancaman keamanan kontemporer lainnya.
Berkaca pada kondisi tersebut, sudah waktunya untuk melakukan revitalisasi secara menyeluruh dalam rangka menjaga relevansi ASEAN dalam menghadapi dinamika tantangan dan ancaman keamanan saat ini. Terdapat setidaknya tiga unsur mendasar dalam proses revitalisasi ASEAN ke depannya.
Pertama, perlu adanya refleksi ulang terhadap rigiditas penerapan norma non-intervensi yang justru menghambat respons ASEAN dalam menghadapi permasalahan regional. Kompromi terhadap dogma non-intervensi dalam derajat tertentu akan memberikan ruang dan keleluasaan bagi ASEAN dalam bertindak.
Kedua, diperlukan perubahan menyeluruh dalam tendensi pendekatan ASEAN ketika dihadapkan pada persoalan. Selama ini mekanisme pengambilan keputusan yang berbasis konsensus berdasarkan prinsip no one behind justru mempersulit ASEAN dalam menemukan kesepakatan bersama dan melakukan realisasi tindakan terutama dalam memecahkan permasalahan yang menyangkut kepentingan politik negara anggotanya. Sementara itu, kecenderungan dalam mengutamakan diplomasi tertutup dan pendekatan inkremental tidak lagi relevan dengan realitas permasalahan regional kontemporer yang justru menuntut keterbukaan dan respon tindakan eksplisit.
Terakhir, sudah seharusnya ASEAN bertransisi dari organisasi elitis dan didominasi sepenuhnya oleh pemerintah negara menjadi organisasi yang bersifat terbuka bagi partisipasi organisasi non-negara dan masyarakat sipil. Pelibatan masyarakat sipil yang besar memungkinkan organisasi ini lebih adaptif dan fleksibel, mampu menerapkan serangkaian langkah alternatif ketika proses politik di tingkat pemerintah negara mengalami kebuntuan dan kegagalan.