
DILIHAT dari luar angkasa, Bumi tampak lebih hijau dibandingkan satu generasi sebelumnya. Rekaman satelit menunjukkan luas area berdaun telah meningkat di sebagian besar wilayah planet ini sejak awal 1980-an. Fenomena ini populer dengan istilah “penghijauan global”.
Sekilas, ini tampak seperti kabar baik. Bertambahnya area hijau memberikan makna penyerapan karbon lebih baik, habitat satwa lebih luas dan banyak. Namun, analisis terkini justru menyuguhkan realitas yang lebih kompleks. Ini merupakan sebuah paradoks sederhana: tanaman yang tumbuh subur juga cenderung memerlukan air lebih banyak.
Sebuah studi yang dilakukan sejak 1982 meneliti rekaman satelit tentang vegetasi, dataset iklim modern, dan simulasi dari selusin model sistem Bumi untuk menelusuri hubungan kausal antara pertumbuhan tanaman dan kelembapan tanah. Rumusan masalahnya adalah: apa yang biasanya terjadi terhadap air tanah ketika vegetasi meningkat?
Pemandangan Menghijau, Tanah Mengering
Temuan menunjukkan sekitar dua pertiga lahan bervegetasi di dunia mengalami penghijauan sejak awal 1980-an. Hampir separuh dari area tersebut juga mengalami pengeringan di bawah permukaannya.
Polanya terlihat jelas di Afrika Tengah, Asia Tengah, timur Australia, serta sebagian Eropa sedang hingga lintang tinggi, daerah-daerah dengan curah hujan tak menentu dan sering dihantam gelombang panas. Beberapa wilayah seperti Amerika Utara, Semenanjung India, dan bagian selatan Sahel menunjukkan pola sebaliknya, yaitu “penghijauan dan pembasahan” (greening–wetting), di mana vegetasi yang tumbuh datang bersamaan dengan tanah yang lebih lembap. Namun secara umum, lebih banyak vegetasi identik dengan lanskap yang lebih haus.
Tanaman adalah pompa hidup. Saat fotosintesis, daun pada tanaman membuka pori-pori mikroskopis untuk menyerap karbon dioksida (CO2). Tetapi melalui pori yang sama, air menguap melalui proses yang disebut transpirasi. Jika jumlah daun bertambah atau musim tumbuh memanjang, maka kebutuhan total terhadap air di lingkungannya juga meningkat.
Di iklim basah dengan suplai rutin, seperti hujan atau salju mencair, kebutuhan tersebut bisa diimbangi. Namun di daerah kering atau yang mengalami penurunan hujan musim panas, keseimbangan ini berubah. Kelembapan tanah menjadi sumber pertama yang terkuras.
Kenaikan CO2, pengelolaan lahan, dan pemanasan global telah memperluas area berdaun secara global, memperpanjang musim tumbuh, dan menambah vegetasi. Meskipun pohon dapat memberikan naungan dan membantu menjaga kelembapan tanah, di wilayah yang kekurangan air, transpirasi tambahan sering kali melebihi manfaat tersebut.
Selain itu, meningkatnya “rasa haus” atmosfer memperparah kondisi ini. Saat udara dapat menampung lebih banyak uap air, ia menyerap lebih banyak kelembapan dari tanah dan daun
Dampak Penghijauan Global terhadap Air
Kelembapan tanah adalah penyangga penting bagi kehidupan: menjaga tanaman tetap tumbuh di antara musim hujan, menopang aliran sungai, dan menekan risiko kebakaran hutan. Namun, ketika cadangan ini berkurang akibat penghijauan yang menyerap air berlebihan, kebutuhan irigasi meningkat, aliran sungai akhir musim menurun, dan gelombang panas makin parah. Dampaknya juga terasa secara ekologis, seperti invasi pohon di savana yang menyingkirkan rumput, atau hutan utara yang rentan terhadap hama dan kebakaran.
Meski penghijauan menjadi bagian solusi iklim, studi menekankan bahwa strategi harus lebih cerdas. Pemilihan spesies tahan kering, penanaman di lokasi sesuai, serta pemantauan air dan karbon perlu berjalan beriringan. Dari luar angkasa Bumi memang tampak hijau, tetapi cerita di permukaan jauh lebih rumit. (Earth/Z-2)