
PENGAMAT pertanian dari Center of Reform on Economics (CORE) Eliza Mardian menyoroti stok beras di Bulog yang turun kualitasnya. Lama-lama ia semakin tidak layak dikonsumsi oleh masyarakat dan akhirnya menjadi disposal stock atau pembuangan stok beras.
"Sekarang dari total stok 3,9 juta ton di Bulog, 993 ribu ton sudah disimpan 7-12 bulan. 1,3 juta ton disimpan selama 4-6 bulan, 1,06 juta ton tersimpan selama 2-3 bulan, dan 318 ribu ton berusia 0-1 bulan. Pemerintah masif nyerap tapi terkendala penyaluran," ujar Eliza saat dihubungi, Rabu (3/9).
Bulog sendiri mencatat cadangan beras pemerintah (CBP) tembus lebih dari 4 juta ton dan menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah. Dari total tersebut, sekitar 1,3 juta ton akan disalurkan sebagai beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) hingga akhir 2025.
Eliza mengatakan tidak ada yang salah dengan stok melimpah. Namun perlu diimbangi dengan penyaluran yang masif.
Menurutnya, saat ini masih ada sejumlah hambatan penyaluran beras dari pemerintah. Pertama, kemasan SPHP sebesar 5kg yang diperuntukkan masyarakat bawah ini dinilai terlalu berat bagi.
"Kebanyakan belinya literan atau kurang dari 5kg. Apalagi jika (masyarakat) berpenghasilan harian, SPHP yang dikemas kayak premium ini jadi gak laku di kalangan masyarakat yg uang belanjanya pas-pasan Solusinya, pemerintah buat kemasan ekonomis, 1kg-an," kata Eliza.
Hambatan selanjutnya, aplikasi Klik SPHP ini belum banyak bisa diterapkan di kalangan pedagang. Karena itu, pemerintah tidak bisa memaksakan digitalisasi secara cepat.
"Perlu transisi bertahap dengan berbagai pelatihan dan pendampingan agar mereka siap menggunakan layanan penebusan SPHP digital. Harus ada mekanisme penebusan manual juga oleh pedagang, dibantu pendamping dari tim distribusi beras yg nanti akan input ke dashboard," paparnya.
Selain itu, penyaluran SPHP bisa menggunakan mobil keliling, mendekati titik-titik lokasi masyarakat yang terdeteksi banyak menengah bawahnya.
"Jadi kayak SIM keliling. Karena kebiasaan masyarakat yang belanja harian karena upahnya harian, ini belanjanya ke yang dekat-dekat saja, karena gak perlu ongkos lagi," katanya.
Sementara itu, Ombudsman RI melihat pengelolaan cadangan yang terlalu berlebihan membuat persoalan tata kelola CBP bermasalah. Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengatakan pihaknya sudah mendorong agar cadangan pangan berada di angka 1,2 juta ton.
“Tapi pemerintah mengambil angka 4 juta ton. Ini harus ada reason-nya. Bukan semata untuk menunjukkan bahwa pemerintah punya wibawa karena bisa mengumpulkan stok sebesar 4 juta ton,” ujarnya dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Rabu (3/9).
“Sehingga Ombudsman melihat kenaikan harga beras yang terjadi saat ini bukan karena kekurangan stok ataupun karena anomali. Tapi karena tata kelola stok yang buruk dan kurang realistis,” imbuhnya. (H-3)