
KEMENTERIAN Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) menegaskan komitmennya untuk memperkuat perlindungan dan pemanfaatan kekayaan intelektual (KI) dari hasil riset dan inovasi perguruan tinggi di seluruh Indonesia.
Sekretaris Direktorat Jenderal Riset dan Pengembangan (Risbang) Kemdiktisaintek, Junaidi Khotib mengungkapkan bahwa kebijakan ini mengacu pada penguatan ekosistem riset berbasis kolaborasi antara perguruan tinggi, industri, dan pemerintah.
Menurutnya, langkah tersebut diharapkan mampu mempercepat hilirisasi hasil riset menjadi produk inovatif yang dapat diterapkan secara luas di sektor industri dan teknologi dalam negeri.
"Dampak yang kita harapkan adalah positive impact, mulai dari pengetahuan, kekayaan intelektual, hingga manfaat sosial, budaya, dan ekonomi. Dengan kolaborasi yang kuat, hasil riset dapat segera di-hilirisasi menjadi produk yang bermanfaat bagi kemanusiaan, sosial, dan ekonomi," kata Junaidi dalam acara Intellectual Property Xpose (IPXpose) Indonesia 2025, di Jakarta, Rabu (13/8).
Menurut Junaidi, perlindungan kekayaan intelektual harus dilakukan sejak tahap awal penelitian, baik yang bersifat fundamental maupun terapan. Bentuk perlindungan tersebut meliputi paten, merek dagang, hak cipta, hingga desain industri.
"Rancangan penelitian tidak boleh hanya berakhir pada laporan atau publikasi, tetapi juga menghasilkan kekayaan intelektual maupun produk yang memberikan kemanfaatan. DJKI telah memberikan dukungan luar biasa, mulai dari mediasi, fasilitasi, hingga pendampingan proses pendaftaran," ujarnya.
Junaidi menyebut, dukungan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) membuat jumlah kekayaan intelektual yang terdaftar dan berstatus granted meningkat signifikan setiap tahun. Namun, ia menekankan bahwa capaian tersebut harus diikuti dengan upaya transfer dan licensing agar memberikan dampak yang lebih besar.
"Kalau hanya paten atau hak cipta tanpa adanya proses transfer atau licensing, dampaknya belum maksimal. Perlindungan harus diberikan pada proses, rancangan, maupun produk yang dihasilkan, di setiap tingkat kesiapan teknologi," ucapnya.
Manajemen Riset
Kemdiktisaintek sendiri membagi manajemen riset menjadi dua tahap, yakni manajemen hulu yang mencakup penelitian dasar dan fundamental, serta manajemen hilir yang fokus pada kolaborasi riset dengan industri.
Ia menambahkan, potensi kekayaan intelektual di perguruan tinggi sangat besar mengingat jumlah mahasiswa yang mencapai puluhan ribu di setiap kampus. Jika setiap kegiatan riset atau inovasi mahasiswa dilindungi hak kekayaannya, jumlah KI yang dihasilkan bisa berlipat ganda.
"Bayangkan satu perguruan tinggi dengan 30 ribu mahasiswa, berapa kekayaan intelektual yang bisa dihasilkan dan divaluasi jika setiap inovasi mendapatkan perlindungan," tuturnya.
Untuk mendorong capaian tersebut, Kemdiktisaintek menyiapkan sejumlah program strategis, di antaranya program penulisan KI untuk memfasilitasi pengajuan pendaftaran, program Unggulan Berpotensi Kekayaan Intelektual (Ubera KI) untuk mendorong karya berpotensi tinggi, dan insentif KI Berdampak atau Kreasi Intelektual Berdaya Tinggi untuk Ekonomi Maju dan Kreatif.
"Kami berharap capaian KI yang sudah granted tidak berhenti di angka pendaftaran, tetapi diikuti dengan licensing atau transfer teknologi ke industri dan masyarakat. Dengan begitu, manfaatnya bisa dirasakan secara luas," kata Junaidi.
Publikasi dan Kekayaan Intelektual
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Fasilitasi Riset dan Inovasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Agus Haryono menegaskan bahwa untuk hasil utama dari riset terdapat dua, yakni publikasi ilmiah untuk membuktikan kebaruan ilmiah dan kekayaan intelektual untuk membuktikan kebaruan aplikasinya.
Ia menyebut, KI ini nantinya akan diturunkan menjadi produk-produk yang dilisensikan ke masyarakat dan industri.
"Kekayaan intelektual inilah yang nantinya diturunkan menjadi produk-produk yang dilisensikan ke masyarakat. Kita ingin paten dan KI yang sudah terdaftar benar-benar memberi kontribusi pada pertumbuhan ekonomi melalui kegiatan lisensi," jelas Agus.
Agus mengatakan, BRIN telah menginventarisasi KI melalui Direktorat Manajemen Kekayaan Intelektual, melakukan valuasi bersama DJKI dan WIPO, serta menyiapkan training of trainer untuk valuator KI. Valuasi ini penting agar KI dapat dicatat sebagai aset berwujud milik negara sekaligus menjadi dasar negosiasi lisensi.
Selain mengelola paten kepemilikan personal, lanjut Agus, BRIN juga memfasilitasi perlindungan KI komunal di daerah melalui kerja sama dengan BRIDA dan perguruan tinggi.
"Industri yang tertarik dapat langsung menghubungi pengelola paten di Direktorat Manajemen KI BRIN. Kita ingin ekosistem ini semakin maju, sehingga pemanfaatan KI di Indonesia bisa semakin optimal," kata Agus.
Agus menambahkan, keberhasilan pemanfaatan KI tentunya memerlukan sinergi antara pemerintah pusat, daerah, perguruan tinggi, industri, dan masyarakat.
Tentunya, sinergi ini diharapkan dapat mempercepat hilirisasi teknologi, memperkuat daya saing nasional, dan memastikan bahwa hasil riset memberi manfaat nyata bagi pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. (Fik/M-3)