
KOMISI Nasional Disabilitas (KND) bersama Yayasan Gemilang Sehat Indonesia (YGSI) melakukan kegiatan diseminasi pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) bagi penyandang disabilitas di dua wilayah, yakni Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, dan Kabupaten Langkat, Sumatera Barat.
Hasil dari pemantauan di kedua Kabupaten tersebut menunjukkan perkembangan positif terkait HKSR, meski masih terdapat sejumlah tantangan.
Seperti pemantauan yang dilakukan di Kabupaten Indramayu, pemantauan tersebut menggunakan instrumen resmi KND yang telah dimodifikasi menjadi 14 pertanyaan dan melibatkan dua sisi, yakni penyandang disabilitas dan pemerintah daerah dan stakeholder terkait.
Salah satunya dilakukan di Sekolah Luar Biasa (SLB) SLB
Guru, wali kelas, hingga kepala sekolah pun juga menunjukkan komitmen kuat dalam mendukung pendidikan HKSR melalui sosialisasi yang dilakukan setiap saat.
"Sekolah juga sudah berkolaborasi dengan puskesmas terdekat sehingga siswa dapat mengakses layanan kesehatan seksual dan reproduksi secara berkala. Materi HKSR juga telah masuk dalam kurikulum, dengan adaptasi sesuai ragam disabilitas siswa," kata Komisioner KND, Jonna Aman Damanik dalam diskusi di Jakarta, Kamis (28/8).
Sementara itu, dari sisi pemerintah daerah, Indramayu sebenarnya telah memiliki Peraturan Bupati Nomor 86 Tahun 2022 dan Perda Nomor 8 Tahun 2018 terkait perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan.
Namun, kata Jonna, regulasi tersebut belum diturunkan menjadi aturan teknis di dinas-dinas terkait sehingga implementasinya masih terbatas.
"Mandeknya peraturan turunan di tingkat dinas membuat program sulit dijalankan secara teknis, baik dari sisi mekanisme maupun anggaran," ujarnya.
Lebih lanjut, hasil pemantauan di dua kampus wilayah Kabupaten Indramayu, menemukan bahwa pihak rektorat kampus sudah membentuk tim pencegahan dan penanganan kekerasan dengan SK Rektor serta SOP yang jelas. Kampus juga telah menyediakan layanan konseling bekerja sama dengan psikolog dan asosiasi profesi di luar kampus.
Mahasiswa disabilitas pun mendapatkan forum khusus yang aksesibel untuk memahami HKSR. Bahkan, beberapa di antaranya menjadi fasilitator bagi teman sejawat.
"Namun demikian, tantangan masih ada. Kekerasan berbasis gender, termasuk 'cat calling' hingga kasus pelecehan seksual, masih terjadi," ungkapnya.
Atas semua temuan pihaknya tersebut, Jonna menegaskan bahwa sosialisasi HKSR sudah berjalan cukup gencar, bahkan hingga level desa, tetapi dampaknya belum komprehensif.
Menurutnya, hambatan komunikasi, keterbatasan akomodasi yang layak, hingga masih maraknya kekerasan berbasis gender menjadi pekerjaan rumah besar.
Ia berharap, diseminasi ini dapat menjadi pijakan bagi pemerintah daerah, sekolah, dan kampus untuk memperkuat implementasi kebijakan, memperluas akses layanan, dan memutus mata rantai kekerasan berbasis gender di Kabupaten Indramayu.
"Pemenuhan HKSR adalah bagian dari hak asasi manusia. Penyandang disabilitas harus dilibatkan bukan hanya sebagai penerima, tetapi juga sebagai aktor dan fasilitator. Selain itu, keterlibatan pemerintah daerah pun juga diperlukan untuk HKSR ini berdampak nyata," tuturnya.
Pemantauan di Kabupaten Langkat
Sementara itu, dalam pemantauan HKSR di Kabupaten Langkat, Sumatera Barat, dengan menggunakan metode yang sama, menunjukkan bahwa di wilayah tersebut sudah terdapat regulasi, seperti Peraturan Daerah terkait kesehatan reproduksi, serta Perda tahun 2025 tentang kesehatan reproduksi remaja.
Namun menurut Komisioner KND Fatimah Asri Mutmainnah, kebijakan tersebut masih bersifat umum dan belum secara spesifik diarahkan pada disabilitas.
"Artinya, kulitnya sudah ada dulu, tetapi belum menyasar pada kalangan anak-anak ataupun perempuan dengan disabilitas. Jadi harapannya regulasi dan program yang ada ke depan cukup melindungi dan berpihak pada mereka," kata Fatimah.
Selain itu, Fatimah menjelaskan bahwa aksesibilitas layanan di puskesmas maupun rumah sakit juga belum ramah disabilitas. Informasi dan fasilitas layanan HKSR masih bersifat umum, tanpa pengkhususan pada penyandang disabilitas.
Padahal, menurutnya, peraturan tentang perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas telah ada, namun implementasinya belum dirasakan maksimal, terutama dalam isu HKSR.
Ia pun menegaskan bahwa ke depannya sinergi dan kolaborasi antara pemerintah, organisasi disabilitas, serta berbagai pihak terkait isu HKSR adalah sangat penting.
"Uji asesmen ini semata-mata bukan untuk mencari kesalahan, tapi bagaimana fakta-fakta di lapangan bisa menjadi referensi dan justifikasi bagi pemerintah daerah dalam membangun kehidupan masyarakat disabilitas yang lebih baik," tegasnya. (H-2)