
Sebagai bagian dari strategi meningkatkan penerimaan negara, pemerintah tengah merancang regulasi baru yang mewajibkan platform e-commerce untuk memotong pajak atas penghasilan yang diperoleh para penjual online.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan bahwa ketentuan ini hanya berlaku bagi pelapak dengan omzet tahunan minimal Rp 500 juta, sehingga pelaku usaha mikro dengan omzet di bawah angka tersebut tidak akan terdampak.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, menjelaskan bahwa kebijakan ini merupakan penyesuaian mekanisme pemungutan pajak, bukan penambahan jenis pajak baru.
Ke depan, marketplace akan memiliki peran sebagai pemotong pajak langsung dari setiap transaksi penjualan yang berlangsung di platform mereka.
Hingga 31 Maret 2025, DJP Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital telah mencapai Rp 34,91 triliun. Angka tersebut meliputi kontribusi dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebesar Rp 27,48 triliun, pajak kripto sebesar Rp 1,2 triliun, pajak dari sektor fintech (P2P lending) sebesar Rp 3,28 triliun, serta pajak dari transaksi pengadaan barang dan/atau jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (pajak SIPP) sebesar Rp 2,94 triliun.
Asosiasi Dukung Asal Implementasinya Tepat
Menanggapi rencana ini, Sekretaris Jenderal Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Budi Primawan, menegaskan pelaku industri akan mendukung kebijakan pemerintah, asal implementasinya dilakukan dengan tepat dan adil.
"Apa pun kebijakan dari pemerintah, kami tentu akan patuh dan siap menjalankan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kepatuhan terhadap regulasi merupakan bagian dari komitmen kami sebagai pelaku industri e-commerce dalam mendukung ekosistem yang sehat dan berkelanjutan," ujarnya kepada kumparan, dikutip Minggu (29/6).
Meski begitu, Budi menegaskan bahwa regulasi resmi terkait kebijakan ini masih belum diterbitkan. Sejumlah platform memang telah menerima sosialisasi terbatas dari DJP, tetapi belum dapat memberikan respons teknis lebih lanjut.
Ia juga menekankan bahwa jika marketplace ditunjuk sebagai pemotong pajak untuk penjual individu dengan omzet tertentu, maka jutaan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) digital akan terdampak langsung. Oleh karena itu, ia menilai penting untuk memastikan kesiapan sistem dan komunikasi yang efektif dari pihak platform.
idEA pun menyatakan kesiapan untuk bekerja sama dengan otoritas pajak demi menyusun kebijakan yang seimbang. “Kami siap bekerja sama dengan DJP dalam mendukung kebijakan perpajakan yang adil dan transparan, serta mendorong kepatuhan nasional tanpa menghambat ruang tumbuh bagi pelaku usaha kecil dan menengah yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi digital Indonesia," tegasnya.
Menteri UMKM Buka Suara

Menteri Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), Maman Abdurrahman, juga buka suara terkait rencana pengenaan terhadap pedagang online.
Maman memilih tidak memberikan banyak komentar mengenai kebijakan tersebut karena ia baru menerima informasinya dan belum sempat berkoordinasi lebih lanjut dengan Kemenkeu.
"Belum, nanti setelah kita ada ini deh, gue juga baru dapet update," katanya saat ditemui di kantor Kemenko Pangan, dikutip Minggu (29/6).
Saat ini pedagang UMKM (offline) memang sudah dikenakan PPh final sebesar 0,5 persen per bulannya untuk omzet di atas Rp 500 juta, sesuai PP 55/2022. Namun, kebijakan ini belum berlaku untuk pedagang e-commerce. Maman pun menyatakan bahwa pihaknya akan berkoordinasi dengan Kementerian terkait.
"Kalau yang 0,5 persen kan memang sudah berjalan (untuk UMKM offline). Nah ini makanya gue belum bisa jawab, gue koordinasi dulu," jelas Maman.