
POTENSI kejadian luar biasa penyakit campak atau KLB campak di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, mendapat perhatian serius tenaga kesehatan, termasuk untuk kota Jakarta.
Kepala Seksi Pelayanan Medik dan Keperawatan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tamansari Ngabila Salama, menekankan pentingnya surveilans aktif imunisasi sebagai langkah deteksi, pencegahan dan respons cepat terhadap wabah.
“Dalam kondisi wabah, harus dilakukan surveilans imunisasi aktif. Mulai dari mendeteksi kasus klinis dan konfirmasi laboratorium, isolasi pasien, sweeping imunisasi anak, hingga pemberian obat-obatan dan perbaikan gizi serta sanitasi,” jelas Ngabila, Rabu (27/8).
Menurutnya, penanganan wabah campak harus dilakukan dengan tiga pendekatan utama.
Pertama deteksi dan diagnosis dini, konfirmasi darah serta isolasi pasien di rumah atau RS untuk memutus rantai penularan. Kedua, pencegahan sweeping imunisasi, melengkapi vaksinasi campak rubella, serta menjalankan outbreak response immunization (ORI) di daerah terdampak.
Ketiga adalah respons tatalaksana pasien dengan pemberian vitamin A untuk cegah kebutaan, perbaikan gizi, serta peningkatan kebersihan lingkungan di rumah dan sekolah. Ngabila menegaskan, rendahnya cakupan imunisasi menjadi akar persoalan.
“Campak bisa dicegah bila cakupan imunisasi anak mencapai 95–100 persen. Pemerintah sudah menyediakan 15 jenis imunisasi gratis untuk bayi baru lahir hingga anak usia sekolah dan wanita usia subur,” ujarnya.
Ia menjelaskan, anak bisa terkena campak bila tidak pernah divaksin, tidak lengkap vaksinasinya, atau memiliki gizi buruk serta tinggal di lingkungan dengan sanitasi yang buruk. Campak sendiri menular melalui udara, baik lewat droplet maupun airborne.
“Semua merek vaksin aman, halal, sehat, dan bermanfaat. Target imunisasi 95–100 persen harus dicapai dengan dukungan tokoh masyarakat dan agama,” tegas Ngabila.
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa kematian akibat campak umumnya bukan karena virusnya semata, melainkan komplikasi yang menyertai.
“Pneumonia, diare berat, dehidrasi, hingga radang otak (ensefalitis) bisa berujung fatal, terutama pada bayi, balita, dan anak dengan gizi buruk atau imunitas rendah,” katanya.
Ia menambahkan, anak yang tampak sehat namun tidak divaksin tetap berisiko. Mereka bisa menjadi pembawa virus, menularkan ke kelompok rentan, memicu mutasi virus, hingga menyebabkan wabah baru.
“Imunisasi itu seperti sabuk pengaman. Mungkin terlihat tidak perlu, tapi saat terjadi kecelakaan, sabuk pengaman itulah yang menyelamatkan,” pungkas Ngabila. (H-3)