Moms, pernahkah Anda membayangkan pemandangan kafe yang biasanya penuh dengan ibu dan bayi, tetapi diisi oleh para ayah yang mendorong stroller, menggendong si kecil, sambil menikmati secangkir kopi panas? Di Swedia, hal ini bukan lagi pemandangan langka. Mereka menyebutnya sebagai fenomena “latte dad”.
Istilah ini mulai populer di awal 2010-an, menggambarkan para ayah yang aktif mengambil peran pengasuhan sejak bayi lahir. Bukan sekadar ikut-ikutan, fenomena latte dad lahir berkat dukungan sistem cuti orang tua yang sangat ramah keluarga.
Dikutip dari laman New York Post, di Swedia, setiap orang tua baik ayah maupun ibu mendapatkan total 480 hari cuti berbayar yang bisa dibagi sesuai kebutuhan. Bahkan, sebagian hari cuti itu bisa digunakan sampai anak berusia 12 tahun.
Tak heran, para ayah di sana terbiasa menghabiskan waktu berdua dengan anak, mulai dari mengganti popok, mengikuti kelas bayi, hingga sekadar nongkrong di kafe sambil berbagi pengalaman dengan ayah-ayah lainnya. Menariknya, di kalangan masyarakat Swedia, ayah yang tidak mengambil cuti justru dianggap tabu.
Manfaat Latte Dad bagi Keluarga
Fenomena ini bukan sekadar tren, Moms. Keterlibatan ayah sejak dini berdampak positif pada perkembangan sosial dan emosional anak. Beban pengasuhan yang selama ini terlalu banyak dipikul ibu, bisa dibagi dengan lebih seimbang. Ini juga sangat membantu pemulihan ibu pasca-melahirkan dan bisa mencegah baby blues hingga depresi postpartum.
Bahkan menurut data Pemerintah Swedia, keluarga yang berbagi peran pengasuhan cenderung lebih harmonis dan memiliki risiko perceraian lebih rendah.
Bisakah Fenomena Latte Dad Diterapkan di Indonesia?
Nah, Moms, pertanyaan besarnya: apakah budaya latte dad bisa terjadi di Indonesia?
Saat ini, aturan cuti ayah di Indonesia masih sangat terbatas. Berdasarkan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA), seorang ayah berhak mendapatkan cuti pendampingan istri melahirkan selama 2 hari, dan dapat ditambah paling lama 3 hari sesuai dengan kesepakatan antara pekerja dan perusahaan. Meski, ada beberapa perusahaan yang mulai memberikan cuti lebih panjang sebagai bagian dari kebijakan internal mereka. Tentu, Moms, ini masih jauh dari “standar emas” yang dimiliki Swedia.
Namun Moms, bukan berarti latte dad mustahil hadir di sini. Karena kabar baiknya, tren parenting generasi ini sudah mulai bergeser. Para ayah sudah mulai memiliki kesadaran lebih bahwa pengasuhan merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya ibu saja.
Tak sedikit ayah yang mau terlibat mengasuh bayi, lebih peduli dengan perkembangan anak, menyempatkan mengantar anak sekolah sebelum ke kantor, dan masih banyak lagi. Selain itu, Kemendukbangga/BKKBN juga kerap mendorong para ayah untuk lebih terlibat dalam pengasuhan dan urusan rumah tangga demi kesejahteraan keluarga.
Bagaimana menurut Anda, Moms?