
MENTERI Agama (Menag) Nasaruddin Umar menegaskan bahwa Kementerian Agama akan bergerak cepat dalam menangani berbagai kasus intoleransi yang masih terjadi di sejumlah daerah.
"Memang masih ada beberapa kasus yang kami catat, seperti peristiwa yang baru-baru ini terjadi di Sumatera Barat dan Jawa Barat. Kami sudah memiliki daftar kasus tersebut dan menanganinya secara kasuistik," kata Menag dalam keterangannya, Selasa (12/8).
Menag menyebut, pihaknya juga telah berkoordinasi dengan aparat penegak hukum, termasuk Kapolri. Dalam waktu dekat, pihaknya juga akan menindaklanjuti dengan pertemuan bersama Bintal (Pembinaan Rohani dan Mental) Provos dari berbagai angkatan dan Badan Intelijen Negara (BIN).
"Minggu ini, kami juga akan bertemu lagi dengan BIN dan pihak-pihak terkait. Saya ingin pertemuan ini menjadi langkah konkret terakhir sebelum eksekusi di lapangan," ujarnya.
Lebih lanjut, Menag menekankan pentingnya pencegahan dini dengan memanfaatkan jaringan aparat hingga tingkat kecamatan, imam desa, dan tokoh lokal. Ia meminta agar informasi sensitif segera dilaporkan ke pusat agar bisa ditangani dalam waktu kurang dari 24 jam.
"Dengan komunikasi yang ada sekarang, seperti telepon, laporan bisa sampai dalam waktu kurang dari 24 jam, dan kami pasti akan menindaklanjutinya. Itulah langkah yang kami ambil. Insya Allah, kita bisa menghadapinya bersama," tuturnya.
Menag menyampaikan bahwa target Kementerian Agama bukan hanya mengeliminasi, tetapi juga meniadakan potensi terjadinya konflik.
"Target kami bukan hanya mengeliminasi, tetapi juga meniadakan potensi terjadinya konflik. Mengeliminasi berarti membatasi, sedangkan meniadakan berarti memastikan hal itu tidak pernah terjadi lagi," ucapnya.
Ia menilai, penyelesaian persoalan intoleransi tidak mungkin hanya dilakukan di level praksis tanpa terlebih dahulu membenahi tingkat yang lebih mendasar. Atas dasar itu, Menag memperkenalkan kurikulum cinta yang bertujuan memastikan agar pendidikan agama tidak mengajarkan kebencian atau menekankan perbedaan, tetapi mengajarkan persamaan dan titik temu antaragama.
"Kurikulum cinta ini akan dipadukan dengan ekoteologi. Keduanya, pada hakikatnya, adalah cara baru untuk memperkuat toleransi beragama dan kemanusiaan. Prinsip dasarnya adalah mencintai sesama manusia tanpa membedakan bangsa, warna kulit, atau agama, serta membangun kerukunan antara manusia dengan alam," jelasnya.
"Kami yakin, jika trilogi ekoteologi, kurikulum cinta, dan kerukunan antarumat beragama ini berhasil diterapkan, Indonesia akan memiliki nilai kemanusiaan dan kerukunan yang dapat menjadi kebanggaan dunia," sambungnya. (H-3)