
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Sahel Al Habsy, meminta pengesahan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) tidak dilakukan tergesa-gesa. TII, bagian dari koalisi masyarakat sipil, menyebut tak ingin KUHAP yang dihasilkan cacat.
"Jadi bagi kami masih ada waktu, tidak perlu tergesa-gesa untuk mengesahkan dan mengundangkan KUHAP ini. Lebih baik kita mengambil waktu lebih panjang daripada pada akhirnya produk ini jadi produk yang cacat banyak dipersoalkan di mahkamah konstitusi juga," ucap Saleh dalam diskusi bersama KPK dan akademisi soal RKUHAP di Gedung KPK, Kamis (31/7).
"Dan di samping, menimbulkan korban-korban baru ya yang dilecehkan hak asasi manusianya tapi juga menyebabkan impunitas di dalam penindakan korupsi," tambahnya.
Saleh menyebut KUHAP baru memang diperlukan untuk menggantikan KUHAP lama yang sudah diterapkan sejak 1981. Namun, pembaharuan ini dinilai harus disusun dengan baik, mendukung pemberantasan korupsi.
"Tetapi pembaruan yang kita harapkan adalah pembaruan yang sesempurna mungkin yang tidak mengebiri pemberantasan korupsi," ucap Saleh.
"Kita melihat sampai dengan saat ini, seperti yang disampaikan oleh Charles juga itu ada yang berpotensi mengebiri pemberantasan korupsi khususnya yang digawangi oleh KPK," tambah dia.
Ia menyorot beberapa pasal di RKUHAP yang menurutnya bisa mengebiri kewenangan KPK. Pasal itu salah satunya yakni Pasal 329 dan Pasal 330.
“Misalnya ada ketentuan yang ambigu tentang keberlakuan lex specialis yang ada di pasal 329, 330, walaupun pembentuk undang-undang menjelaskan bahwa juga ada pasal 3 ayat 2 di rancangan undang-undang KUHAP yang mengatakan ketentuan dalam undang-undang lain dapat berlaku tetapi itu dibantah sendiri di dalam pasal 329, 330,” jelas Saleh.
Berikut adalah bunyi kedua pasal itu:
Pasal 329: Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kewenangan PPNS dan Penyidik Tertentu dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 330: Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Upaya Paksa dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Adapun KPK menyorot 17 poin di dalam RKUHAP. Di antaranya terkait dengan aturan penyadapan, reduksi kewenangan penyelidik, hingga aturan pencegahan ke luar negeri hanya untuk tersangka.
Ke-17 poin itu didapati KPK usai melakukan diskusi dan kajian di internal lembaga.
KPK menyebut telah bersurat ke pemerintah dan DPR RI untuk audiensi mengenai 17 poin itu. Namun, sampai dengan saat ini, belum ada kabar lanjutan mengenai audiensi itu.