RUMAH Sakit Umum Pusat (RSUP) dr. Sardjito membeberkan kondisi Rheza Sendy Pratama, mahasiswa Amikom yang tewas dalam bentrokan dengan aparat di kawasan ring road utara, sekitar Markas Polda Yogyakarta, Minggu pagi 31 Agustus 2025.
Manajer Hukum dan Humas RSUP Dr Sardjito Banu Hermawan menjelaskan, mahasiswa itu masuk ke rumah sakit dalam kondisi buruk dan tak sadarkan diri. "Pasien (Rheza) masuk rumah sakit jam 06.30 WIB, sudah dalam kondisi buruk begitu. Kemudian tim medis melakukan RGP, resusitasi jantung paru secara maraton 30 menit, kemudian jam 07.06 kami menyatakan beliau meninggal dunia," kata Banu di RSUP dr. Sardjito, Senin, 1 September 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Banu mengatakan, rumah sakit sudah berupaya semaksimal mungkin, namun kondisi Rheza tidak berhasil diselamatkan. Ihwal kondisi fisik yang menyebabkan Rheza meregang nyawa, Banu mengatakan belum mengetahui persis karena itu menjadi ranah tim medis. Secara umum, kondisi Rheza disebut dengan cardiac arrest atau henti jantung, sehingga begitu masuk langsung menjalani pompa jantung.
Soal kondisi fisik, Banu mengatakan pemeriksaan yang dilakukan tetap sesuai dengan mekanisme. "Namun kami belum bisa membuka kondisi fisik. Hasil pemeriksaan yang ada di kami, masih kami simpan. Kami akan serahkan ke pihak yang berwajib," kata dia. Dia menuturkan, pihak keluarga juga tidak berkenan untuk dilakukan visum et repertum lebih lanjut. "Sehingga diagnosa cardiac arrest ini. Penyebab kematian, ya, cardiac arrest itu," ujar dia.
Banu menepis adanya tekanan dari pihak tertentu untuk tidak membuka hasil pemeriksaan kondisi Rheza. "Ini kan namanya hasil pemeriksaan. Kami tidak bisa membuka secara keseluruhan, karena memang ada ranah-ranah hukum yang harus kami hormati," ujar dia.
Banu mengatakan, sejauh ini belum ada pihak yang meminta hasil pemeriksaan jenazah Rheza, sehingga rumah sakit menyimpannya sebagai rahasia medis pasien. Ketika nanti ada yang meminta data itu, kata dia, rumah sakit baru akan menyerahkan kepada yang berwajib. "Apakah dari penyidik dari Polresta, Sleman, atau Kapolda. Monggo nanti siapa yang berkoordinasi dengan kami," kata Banu yang mengaku sejauh ini belum ada permintaan data medis Rheza.
Dia menegaskan, pada prinsipnya keluarga pasien tidak meminta dilakukan visum et repertum. "Jadi kausanya sudah cukup jelas. Itu namanya nanti munculnya adalah surat keterangan medis hasil pemeriksaan," ujar Banu.
Ihwal keterangan ayah korban yang menduga adanya indikasi leher patah dan sejumlah luka di tubuh, Banu belum bisa memaparkannya. "Nah itu keterangan dokter, kami tidak mengakses sampai ke sana," kata dia. Yang jelas, Banu menuturkan, Rheza sudah dengan kondisi buruk saat diantar unit kesehatan Polda Yogyakarta ke rumah sakit.
Banu mengatakan, sepanjang aksi demo yang digelar di Yogyakarta pada 29-31 Agustus 2025, total ada 29 orang dilarikan ke rumah sakit itu. Sebanyak 27 orang dari Yogyakarta. Mereka yang dirawat, sebanyak 14 luka ringan dan diperbolehkan pulang, dan 13 lainnya masih dirawat. "Kami tangani secara keseluruhan. Ada yang datang sendiri, ada yang memang rujukan diantar. Tapi yang rujukan lebih sedikit," kata dia.
Dari pasien yang masuk itu usianya mulai dari 15 tahun dan yang paling tua usia 42 tahun. Mereka yang datang dan menjadi keluhannya dari aksi tersebut kebanyakan adalah luka-luka dan robek di tubuh, sehingga tindakan medis rata-rata dijahit. "Kebanyakan adalah fraktur. Fraktur itu ada patah tulang, ada kondisi seperti itu, lalu luka robek ada di beberapa tempat, di tangan, ada di kaki," ujar Banu.
Pilihan Editor: