REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK – Korban jiwa menyusul bentrokan antara tentara Thailand dan Kamboja bentrok di sepanjang perbatasan antara negara mereka terus bertambah. Hingga semalam eskalasi tersebut menyebabkan sedikitnya 14 orang tewas, sebagian besar warga sipil.
Kedua belah pihak menembakkan senjata kecil, artileri dan roket, dan Thailand juga melancarkan serangan udara. Pertempuran terjadi di setidaknya enam wilayah, kata juru bicara Kementerian Pertahanan Thailand Surasant Kongsiri, sehari setelah ledakan ranjau darat di sepanjang perbatasan melukai lima tentara Thailand dan menyebabkan Bangkok menarik duta besarnya dari Kamboja dan mengusir utusan Kamboja ke Thailand.
Ini konflik militer yang jarang terjadi antara negara-negara anggota ASEAN, meskipun Thailand pernah berselisih dengan Kamboja sebelumnya mengenai perbatasan dan juga pernah mengalami pertempuran sporadis dengan tetangganya di barat, Myanmar.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak kedua belah pihak “untuk menahan diri secara maksimal dan mengatasi masalah apapun melalui dialog,” menurut wakil juru bicara PBB Farhan Haq.
Thailand dan Kamboja saling menyalahkan atas bentrokan pada Kamis, dan menuduh warga sipil menjadi sasaran.
Di Bangkok, Kementerian Kesehatan Masyarakat mengatakan seorang tentara Thailand dan 13 warga sipil, termasuk anak-anak, tewas sementara 14 tentara dan 32 warga sipil lainnya terluka. Menteri Kesehatan Masyarakat Somsak Thepsuthin mengutuk apa yang disebutnya sebagai serangan terhadap warga sipil dan rumah sakit sebagai pelanggaran terhadap hukum kemanusiaan internasional dan Konvensi Jenewa.
“Kami mendesak pemerintah Kamboja untuk segera menghentikan tindakan kriminal perang tersebut, dan kembali menghormati prinsip hidup berdampingan secara damai,” ujarnya.
Penjabat Perdana Menteri Thailand Phumtham Wechayachai mengatakan pertempuran itu berdampak pada empat provinsi. Kementerian Dalam Negeri diperintahkan untuk mengevakuasi orang-orang setidaknya 50 kilometer.
Di Kamboja, beberapa ratus penduduk desa pindah dari rumah mereka di dekat perbatasan ke kedalaman sekitar 30 kilometer di provinsi Oddar Meanchey. Banyak dari mereka melakukan perjalanan bersama seluruh keluarga dan sebagian besar harta benda mereka dengan menggunakan traktor buatan sendiri, sebelum menetap di tempat tidur gantung dan tempat berlindung sementara.
Dari perkemahan dekat kota Samrong, ibu empat anak berusia 45 tahun, Tep Savouen, mengatakan serangan dimulai sekitar pukul 08.00 pagi.
“Tiba-tiba saya mendengar suara keras,” katanya kepada The Associated Press. “Anak saya bilang mungkin itu guntur dan saya berpikir ’guntur biasanya lebih keras suaranya, lebih mirip suara pistol?’ Saat itu saya sangat ketakutan.”
Kamboja tidak merilis rincian mengenai kematian atau cedera di pihak mereka.