Yusmiati S.Si.,
Politik | 2025-07-31 13:35:35

Di dunia fiksi The Hunger Games, masyarakat terbagi menjadi dua: mereka yang hidup mewah di Capitol, dan mereka yang kelaparan serta tertindas di distrik-distrik luar. Kekuasaan dijaga dengan cermat melalui kelaparan, ketakutan, dan tontonan berdarah yang disebut The Hunger Games — arena pertarungan maut yang diikuti oleh remaja, disiarkan ke seluruh negeri sebagai hiburan sekaligus peringatan agar tak melawan.
Film itu terasa kejam, menyayat, dan menyadarkan. Tapi hari ini, dunia menyaksikan kisah serupa, bukan di layar bioskop, melainkan dalam kehidupan nyata — di Gaza.
Gaza: "Distrik 12" Dunia Nyata
Gaza, wilayah kecil yang dihuni lebih dari dua juta jiwa, telah lama hidup di bawah blokade darat, laut, dan udara oleh Israel. Sejak 2007, jalur keluar-masuk manusia dan barang dibatasi secara ketat. Dalam agresi militer yang berulang, infrastruktur hancur, rumah sakit lumpuh, dan akses terhadap kebutuhan dasar — termasuk air, listrik, dan makanan — menjadi sangat terbatas.
Menurut berbagai laporan dari lembaga internasional seperti OCHA dan UNRWA:
- Lebih dari 80% penduduk Gaza hidup di bawah garis kemiskinan.
- 9 dari 10 anak menderita kekurangan gizi akut.
- Bantuan kemanusiaan menjadi sumber utama makanan bagi mayoritas warga.
- Sistem distribusi pangan hancur akibat serangan terhadap ladang, gudang, dan truk bantuan.
Blokade dan kehancuran ini bukanlah dampak alam, tetapi hasil kebijakan yang disengaja. Di The Hunger Games, Capitol membatasi makanan untuk mempertahankan kendali. Di Gaza, situasinya hampir serupa: penderitaan dibiarkan, bahkan dimanfaatkan sebagai alat kontrol dan tekanan politik.
Media, Framing, dan Kebungkaman Dunia
Dalam The Hunger Games, warga Capitol menyaksikan pertarungan hidup dan mati dengan ekspresi kagum, seolah penderitaan adalah hiburan. Sayangnya, di dunia nyata, banyak media besar melakukan hal yang tak jauh berbeda — menampilkan tragedi Gaza sebagai sekadar angka statistik atau konflik netral, tanpa empati mendalam terhadap rakyat sipil yang menderita.
Ketika rumah sakit dibom, anak-anak kehilangan keluarga, dan ibu-ibu melahirkan tanpa penerangan atau obat, berita itu sering muncul hanya sebentar di layar televisi atau lini masa media sosial. Lalu hilang, tergantikan oleh gosip selebriti atau isu politik dalam negeri.
Realitas bahwa dunia cenderung lebih peduli pada nasib karakter fiksi seperti Rue dan Prim di The Hunger Games, ketimbang pada anak-anak sungguhan bernama Amal, Lina, atau Yusuf yang mati kelaparan di Gaza, adalah ironi yang menyakitkan.
Kelaparan Bukan Bencana Alam — Ia Kebijakan Politik
Penting untuk ditegaskan: kelaparan di Gaza bukanlah bencana alam, tetapi hasil dari blokade sistematis dan penghancuran ekonomi yang disengaja.
Israel secara aktif:
- Membatasi truk bantuan pangan yang masuk.
- Menghancurkan pertanian dan jalur irigasi.
- Melarang alat produksi dan obat-obatan masuk.
- Memutus akses air bersih dan listrik.
Dalam konteks hukum internasional, tindakan seperti ini termasuk dalam kategori collective punishment — hukuman kolektif terhadap seluruh populasi, yang dilarang keras oleh Konvensi Jenewa. Namun dunia masih bungkam.
Kelaparan dijadikan alat penaklukan. Sama seperti Capitol yang hanya memberi makan untuk menjaga rakyat tetap cukup hidup tapi tidak cukup kuat untuk melawan, sistem yang menimpa Gaza juga menjaga warga dalam kondisi nyaris hidup — agar mereka tidak mati, tapi juga tidak mampu melawan.
Namun Gaza Tak Pernah Menyerah
Meski hidup dalam tekanan yang luar biasa, rakyat Gaza tetap menunjukkan keteguhan yang luar biasa. Mereka saling berbagi roti, menyelamatkan anak-anak yatim, mengajar di reruntuhan, dan membangun kembali puing-puing rumah mereka tanpa bantuan dunia luar.
Mereka adalah simbol perlawanan dan ketahanan yang bahkan Katniss Everdeen dalam The Hunger Games mungkin akan tunduk hormat.
Ketika dunia diam, Gaza terus bersuara. Ketika dunia membisu, Gaza tetap bertahan.
Di Mana Kita Berdiri?
Pertanyaannya kini kembali kepada kita:
Mengapa kita bisa menangis untuk kisah fiksi, tapi bersikap dingin terhadap realita?
Kita mungkin tidak bisa mengubah sistem global secara instan. Tapi kita bisa memilih untuk tidak menjadi penonton yang diam. Kita bisa:
- Menyuarakan isu Gaza di ruang digital dan nyata.
- Menolak narasi media yang menyamakan korban dan pelaku.
- Berdonasi untuk lembaga kemanusiaan terpercaya.
- Mengedukasi orang-orang di sekitar kita tentang hak asasi manusia.
- Menekan pemerintah dan lembaga internasional untuk bertindak.
Diam adalah keberpihakan. Dan dalam kisah seperti ini, diam adalah berpihak kepada penindas.
Penutup: Dunia Nyata Lebih Kejam dari Fiksi
The Hunger Games menggambarkan dunia di mana kelaparan digunakan sebagai senjata. Tapi dunia nyata telah membuktikan bahwa kenyataan bisa jauh lebih kejam.
Gaza tidak butuh belas kasihan. Ia butuh keadilan.
Dan seperti dalam film, setiap kisah distopia akan berakhir. Pertanyaannya: Apakah kita akan menjadi bagian dari perubahan? Atau sekadar menjadi penonton yang bersorak dari jauh, tanpa pernah turun tangan?
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.