
"Putus cinta." Banyak yang bilang, begitu keluar dari hubungan yang nggak sehat, semuanya akan jadi lebih ringan. Bebas. Lega. Tapi kenyataannya, justru setelah keluar, rasa sakit yang sesungguhnya baru benar-benar terasa.
Aneh memang. Saat masih di dalam hubungan yang penuh tarik-ulur, yang sering kali bikin lelah secara mental, seseorang bisa tetap bertahan. Alasannya kadang sederhana: karena sudah terbiasa. Karena sudah paham pola komunikasinya. Karena tahu kapan harus diam, kapan harus sabar, dan kapan harus pura-pura nggak peduli.
Tapi ketika akhirnya memutuskan untuk pergi, semua kenyamanan semu itu ikut hilang. Nggak ada lagi notifikasi yang ditunggu-tunggu. Nggak ada lagi “kita lagi apa hari ini?” Nggak ada lagi hal-hal kecil yang dulu dianggap biasa, tapi ternyata bikin hari lebih teratur. Dan di situlah rasa sakit yang sebenarnya mulai muncul.
Penyembuhan itu bukan cuma soal memutus hubungan, tapi tentang belajar hidup tanpa orang yang selama ini jadi pusat dari banyak hal. Tentang membiasakan diri tidur tanpa pesan selamat malam. Tentang membangun ulang hidup yang sempat bergantung pada kehadiran seseorang.
Di masa-masa seperti itu, banyak orang mulai menyadari bahwa healing tidak selalu terasa seperti kelegaan yang instan. Healing justru bisa lebih menyakitkan daripada hubungan yang kita tinggalkan. Karena dalam hubungan, kita sering kali menunda rasa sakit yang sebenarnya. Kita menumpuk luka, menyimpannya rapat-rapat karena tak ingin kehilangan.
Tapi ketika hubungan itu usai, semua luka yang tertimbun akhirnya muncul ke permukaan. Proses penyembuhan memaksa seseorang untuk melihat ke dalam. Menyadari bahwa selama ini mungkin terlalu sering mengabaikan sinyal bahaya. Terlalu sering memaafkan hal yang seharusnya tidak ditoleransi. Terlalu ingin dimengerti sampai lupa bagaimana rasanya dimanusiakan. Banyak orang berpikir, proses move on itu seperti jalan lurus.
Padahal lebih mirip naik turun bukit. Ada hari di mana semuanya terasa baik-baik saja, lalu di hari berikutnya, rasa rindu bisa datang tanpa aba-aba. Bahkan kadang muncul keinginan untuk kembali, bukan karena masih cinta, tapi karena kesepian. Yang membuat proses penyembuhan menyakitkan adalah kenyataan bahwa rasa itu tidak langsung hilang. Ada momen ketika orang tersebut mencoba kembali menghubungi, sekadar tanya kabar, atau bahkan berinteraksi lagi sebentar. Dan setelah itu? Timbul rasa bersalah. Rasa malu pada diri sendiri. Rasa marah karena merasa belum cukup kuat.
Di sinilah banyak orang merasa bingung, “Bukannya aku sudah pergi? Kenapa masih sesakit ini?”
Jawabannya karena luka yang dipendam selama hubungan itu baru bisa benar-benar keluar saat semua sudah selesai. Saat tidak ada lagi gangguan. Saat tidak ada lagi drama yang menyita energi. Justru saat sunyi itulah, luka yang paling dalam mulai bicara. Proses penyembuhan bukanlah penghapus instan dari segala rasa sakit, tapi sebuah ruang untuk mengenal ulang diri sendiri.
Generasi Z adalah generasi yang tumbuh dalam dinamika dunia yang cepat, penuh tekanan, dan digital. Mereka terkoneksi hampir setiap waktu, tapi justru itu kadang membuat proses menyendiri dan menyembuhkan diri jadi lebih sulit. Istilah healing menjadi bahasa cinta untuk diri sendiri, sebagai bentuk resistensi atas tekanan konstan dan hubungan yang melelahkan.
Di berbagai media sosial seperti TikTok, Instagram, hingga Twitter, konten healing bermunculan: staycation, journaling, meditasi, hingga musik lo-fi. Semua ini menggambarkan usaha untuk menenangkan diri.
Tapi healing bukan hanya tentang aktivitas, melainkan tentang keberanian menghadapi kenyataan: bahwa kita pernah terluka, dan luka itu layak disembuhkan. Dari rasa sakit, seseorang mulai tumbuh. Dari rasa kehilangan, muncul keinginan untuk mengenali diri. Dari rasa marah, muncul kekuatan untuk bilang cukup.
Penyembuhan memang menyakitkan. Karena itu proses membersihkan luka, bukan sekadar menutupnya. Tapi justru di situ letak keajaibannya. Karena setelah semua air mata, diam-diam seseorang mulai membentuk versi baru dari dirinya. Versi yang lebih kuat, lebih sadar, dan lebih sayang sama diri sendiri juga lebih dekat dengan Tuhan.
Pada akhirnya, rasa sakit dalam penyembuhan adalah bagian dari transformasi. Rasa itu penting, karena tanpa rasa sakit, kita tidak tahu sejauh apa kita telah berkembang. Dan pada titik tertentu, kita akan menoleh ke belakang dan menyadari bahwa meski proses itu sulit, kita mampu melewatinya. Kita pulih, dengan cara kita sendiri. Pelan, tapi nyata.